Dukung Target NZE 2060, Pertamina Fokus Lakukan Dekarbonisasi dan Bangun Model Bisnis Baru
JAKARTA, – Kenaikan suhu bumi pada Juli 2022 telah mencapai 1,5 derajat Celsius lebih tinggi dari rerata suhu sebelum revolusi industri.
Angka 1,5 derajat Celsius merupakan ambang batas untuk mencegah permasalahan iklim menjadi lebih parah.
Para ilmuwan di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat bahwa bencana iklim yang mengancam umat manusia akan terjadi jika suhu Bumi naik melebihi 1,5 derajat celcius.
Perlu diketahui, perubahan iklim membuat gelombang panas terjadi di negara-negara Belahan bumi utara. Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan berbagai hujan ekstrem yang merendam sejumlah daratan.
Kondisi tersebut menjadi sorotan berbagai pihak di dunia. Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah, terdapat beberapa upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Salah satunya melalui inisiatif Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Upaya tersebut merupakan kesepakatan pembangunan berdasarkan hak asasi manusia (HAM) dan kesetaraan yang memiliki prinsip universal, integrasi, dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak ada satupun yang tertinggal.
Baca juga: Apa yang Dimaksud Pemanasan Global? Berikut Pengertian dan Dampaknya
Langkah itu pun diperkuat dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UVFCCC) yang beranggotakan hampir seluruh negara.
Tak hanya itu, ada juga upaya dekarbonisasi yang dipopulerkan usai Paris Agreement pada 2015 sebagai proses untuk menghilangkan atau mengurangi emisi karbon buatan manusia demi mencapai nol emisi.
Data yang dilansir dari ourworldata.org mengemukakan bahwa sektor energi menjadi penyumbang tertinggi emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia dengan 73,2 persen.
Dari jumlah tersebut, 24,2 persen di antaranya disumbang oleh energi yang digunakan sektor industri. Kemudian, energi yang dipakai di gedung menyumbang 17,5 persen dan transportasi 16,2 persen.
Hal itu harus mendapat perhatian serius. Terlebih, aktivitas manusia masih bergantung dengan sumber energi fosil.
Oleh karena itu, transisi energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) pun didesak untuk segera dilakukan.
Sebagai perusahaan yang bergerak di sektor energi dari hulu hingga hilir, tanggung jawab itu ada pada Pertamina.
Oleh karena itu, Pertamina sebagai perusahaan pelat merah berkomitmen untuk mendorong keberlanjutan dengan menekankan berbagai aspek lingkungan, termasuk environment, social, and governance (ESG) ke dalam strategi perusahaan.
Baca juga: Pertamina NRE Kaji Investasi Energi Bersih di Afrika Selatan
Salah satu perwujudan dari komitmen tersebut adalah dengan membentuk fungsi sustainability yang mengorkestrasi implementasi nilai-nilai keberlanjutan global, peningkatan ESG, dan pengembangan bisnis baru yang berkelanjutan.
Dalam upaya meningkatkan awareness terhadap isu tersebut, Pertamina pun bekerja sama dengan Kompas TV untuk mengampanyekan signifikansi dekarbonisasi dengan mengadakan program talk show, Pertamina Talks. Program ini disiarkan melalui Youtube Kompas TV.
Episode perdana dari acara itu hadir dengan tema “Menuju Kemerdekaan Hijau: Wujudkan Transisi Energi Untuk Indonesia Melaju” dan disiarkan pada Senin (29/8/2023).
Salah satu narasumber pada acara tersebut, yakni Officer Sustainability PT Pertamina (Persero) Thesa Kemmy mengatakan, Pertamina menyadari bahwa perubahan iklim adalah masalah serius yang bisa mengancam keberlanjutan bumi.
“Saat ini, Pertamina terus berupaya agar bisnis yang dijalankan mampu memenuhi kebutuhan energi bagi bangsa Indonesia serta turut membantu mengatasi masalah perubahan iklim,” ujar Kemmy.
Untuk mewujudkan upaya itu, Pertamina pun menerapkan pendekatan dual materiality sebagai bagian dari strategi transisi energi yang dilakukan.
Dalam pendekatan ini, Pertamina melakukan pengukuran dampak operasional perusahaan terhadap lingkungan, perubahan iklim, dan masyarakat serta sebaliknya. Dengan begitu, perusahaan dapat mengidentifikasi risiko dan peluang, baik finansial maupun nonfinansial.
Kemmy menambahkan, upaya Pertamina tersebut juga menjadi dukungan dalam mewujudkan target pemerintah untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat.
Pertamina juga mengusung dua pilar utama agar target itu bisa segera dicapai, yakni melakukan dekarbonisasi dan membangun model bisnis baru (new business model).
“Untuk dekarbonisasi, beberapa upaya yang dilakukan Pertamina untuk mewujudkan pilar ini adalah dengan melakukan efisiensi energi, penggunaan bahan bakar rendah karbon, dan elektrifikasi armada. Pertamina juga tengah melakukan sejumlah riset dan pengembangan teknologi bersama banyak pihak untuk menangkap karbon,” kata Kemmy.
Baca juga: Alasan Pertamina Usulkan Pertalite Diganti Pertamax Green 92
Kemudian, untuk model bisnis baru, lanjut Kemmy, Pertamina mengembangkan EBT, seperti panas bumi, biofuel, hidrogen, dan tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan energi di masyarakat.
Dalam pengembangannya, Pertamina turut berkolaborasi dan bersinergi dengan seluruh 6 subholding yang ada di Pertamina Group.
Kemmy menilai, masing-masing subholding itu memiliki peran penting dalam mengakselerasi peluang bisnis baru.
Kolaborasi tersebut tidak hanya dilakukan antarunit bisnis dalam Pertamina, tetapi juga melibatkan berbagai pihak di luar agar dapat membuka terciptanya peluang bisnis baru, termasuk bisnis karbon.
“Upaya-upaya kolaborasi dari Pertamina dalam memperkuat posisinya pada pasar karbon adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), mengembangkan riset dan teknologi, serta memperkuat dukungan finansial,” terang Kemmy.
Tantangan fundamental
Meski begitu, Kemmy tak memungkiri bahwa Pertamina menemui sejumlah tantangan fundamental.
“Tantangan Pertamina sebagai perusahaan energi adalah bisa menyeimbangkan kebutuhan energi sambil menjaga keberlanjutan,” ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjut Kemmy, Pertamina sebagai agen perubahan terus mendorong masyarakat dalam menggunakan energi yang lebih bersih dan efisien.
selain itu, tantangan lain yang dihadapi adalah terkait penggunaan teknologi dan infrastruktur untuk mengoptimalkan pengolahan EBT.
Kemmy menjelaskan, Indonesia punya sumber EBT yang melimpah. Namun sayangnya, potensi ini belum maksimal.
“Jika hal ini kita bisa optimalkan dengan inovasi teknologi, tentu akan lebih baik. Saat teknologinya semakin berkembang, EBT bisa semakin efisien dan jumlahnya bisa mencukupi kebutuhan masyarakat.” ujarnya.
Kolaborasi bisnis baru
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar memiliki stok blue carbon terbesar di dunia. Namun, sayangnya potensi ini berimbang dengan laju deforestasi yang cukup tinggi.
Founder of CarbonEthics and Bumi Journey Jessica Novia yang juga hadir di acara Pertamina Talks menjelaskan bahwa dibutuhkan juga peran serta banyak pihak untuk bisa meminimalisasi masalah tersebut.
Oleh karena itu, CarbonEthics and Bumi Journey sebagai organisasi nirlaba memiliki komitmen besar untuk mengedukasi masyarakat agar mereka dapat meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab terhadap isu-isu lingkungan.
Selain edukasi, CarbonEthics and Bumi Journey juga berkolaborasi dengan Pertamina Foundation terkait pemanfaatan blue carbon atau karbon biru.
Blue carbon merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir laut, seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa pasang surut.
Jessica menjelaskan, pihaknya bekerja sama dalam tiga ruang lingkup yang berkutat pada blue carbon, mulai dari membuat metodologi, monitoring, pemanfaatan teknologi, dan pengkajian kebijakan.
“Kami senang karena Pertamina tak hanya fokus di energi dan mau berkolaborasi dengan organisasi akar rumput seperti kami. Itu sudah menunjukkan komitmen mereka dalam mengatasi perubahan iklim. Target NZE 2060 bisa dicapai dengan dukungan dan komitmen semua pihak, baik dari individual, swasta, maupun pemerintah,” ucap Jessica.
Terkini Lainnya
- Harga Bahan Pokok Rabu 18 September 2024, Semua Bahan Pokok Naik, Kecuali Daging Sapi Murni
- Rincian Harga Emas Antam Hari Ini, Turun Rp 4.000
- IHSG Tumbuh di Awal Sesi Perdagangan, Nilai Tukar Rupiah Melemah di Pasar Spot
- Investor Masih Tunggu Penurunan Suku Bunga The Fed, Wall Street Cetak Hasil Beragam
- Menhub Ungkap Rencana Operasikan Kereta Otonom di Kuta Bali
- Isyarat Krisis dari Deflasi: Evaluasi Kritis Stabilitas Ekonomi Indonesia
- Cek Fakta Ucapan Jokowi, Pasir Laut atau Sedimen yang Boleh Diekspor?
- IHSG Diprediksi Menguat, Simak Rekomendasi Saham 18 September 2024
- Kadin Provinsi Buka Suara, Ada yang Sebut Munaslub Gerakan Kudeta
- Realisasi Subsidi KRL Berbasis NIK Tunggu Restu Pemerintahan Prabowo
- Asal Mula Susu Ikan yang Diusulkan di Program Makan Bergizi Gratis
- Badan Gizi Nasional Tak Tentukan Menu Makan Bergizi Gratis, Susu Bisa Diganti Telur
- Pembangkit Listrik Tenaga Hidrogen Dinilai Bisa Jadi Solusi Energi Bersih
- Impor Beras RI Meroket 121,34 Persen Selama Januari-Agustus 2024
- Sejumlah Kerja Sama Strategis untuk Kurangi Emisi Karbon Diteken di ISEW 2024
- Jelang Akhir Pekan, Harga Emas Antam Turun 3.000 Per Gram
- Semua Harga BBM Shell Naik per 1 September 2023, Cek Rinciannya!
- Harga BBM Pertamina Naik Per 1 September, dari Pertamax hingga Dexlite
- Simak Analisis dan Rekomendasi Saham Hari Ini
- Mau Tutup Permanen, Ini Jadwal Cuci Gudang Toko Buku Gunung Agung Khusus Hari Ini