"Over-Consumption": Efek "Social-Commerce" yang Terabaikan
Oleh: Widia Eka Putri, S.P., M.Agr.Sc*
BEBERAPA waktu lalu, linimasa diramaikan fenomena tuntutan pedagang Pasar Tanah Abang, Jakarta, agar pemerintah menutup TikTok Shop. Para pedagang mengklaim aplikasi ini menjadi alasan berkurangnya omset penjualan mereka.
Dilihat sekilas, Tiktok Shop bisa jadi salah satu komponen kecil dari kompleksnya jejaring sebab akibat penurunan transaksi secara konvensional di pasar.
Namun jika dikupas lebih dalam, pengaruh ekonomi TikTok Shop sebenarnya menyentuh kalangan masyakat yang lebih luas selain pedagang Pasar Tanah Abang.
Dalam artikel ini, pengaruh ekonomi TikTok Shop serta aplikasi TikTok itu sendiri akan dijabarkan dengan fokus pada bagaimana media sosial ini mengamplifikasi tren perilaku konsumsi yang berlebihan (overconsumption).
Mengapa TikTok Shop?
Sebagai platform media sosial, TikTok diperuntukkan bersosialisasi secara online. Status dan fungsinya sama seperti Instagram, Twitter, dan Facebook.
Di lain sisi, Shopee, Tokopedia, Bukalapak dan sejenisnya adalah platform belanja. Peruntukannya adalah melakukan penjualan dan transaksi secara online.
Perbedaan mendasar antara kedua jenis platform ini yang kemudian mendasari perbedaan kebijakan yang berlaku pada keduanya.
Namun pada perkembangannya, media sosial berevolusi menyediakan fitur untuk belanja. Fitur tersebut disebut sebagai social-commerce dan TikTok Shop salah satu di antaranya.
Karena nature aslinya sebagai media sosial, TikTok Shop bisa memiliki akses ke konsumen yang lebih dekat dan cepat dibandingkan platform belanja.
Bagaimana dari TikTok bisa mengaplifikasi overconsumption?
Dengan beragam dan banyaknya konten yang bisa ditonton di TikTok, pengguna bisa menghabiskan berjam-jam untuk scrolling.
Dalam buku ‘Irresistible: Why We Can’t Stop Checking, Scrolling, Clicking and Watching’ karya Adam Alter, fenomena mengonsumsi konten media sosial yang tidak ada habisnya dikenal dengan istilah mindless scrolling. Ada jutaan orang yang terjebak dalam kebiasan ini setiap harinya.
Lebih lanjut, studi dari Dalhousie University Kanada tahun 2023 menyebutkan bahwa ‘For You Page (FYP)’ di TikTok secara signifikan mengganggu kapasitas seseorang dalam membentuk penilaian yang otonom terhadap nilai-nilai sosial.
Dengan kata lain, pengguna TikTok menjadi mudah terpengaruh oleh apa yang mereka lihat di FYP. Karakteristik ini membuat TikTok menjadi lahan yang sangat ideal untuk promosi produk.
Terkini Lainnya
- Dorong Kebiasaan Menabung, UOB Gelar Program Savings Week
- Istana Sebut Prabowo Belum Bahas Pembentukan Kementerian Penerimaan Negara
- Perjanjian ICA-CEPA Selesai, Mendag Budi Sebut Akses Masuk Sawit ke Kanada Lebih Mudah
- Rayakan HUT Ke-34, JNE Bawa Semangat Melesat Sat Set
- Soal Kementerian Penerimaan Negara, Kemenko Perekonomian: Itu Domainnya Kemenkeu
- Elnusa Pastikan Pasokan Elpiji Lancar Jelang Natal dan Tahun Baru
- ICA-CEPA dengan Kanada Rampung secara Substantif, Ini Keuntungannya bagi RI
- AirAsia Akan Turunkan Harga Tiket Pesawat 10 Persen
- 3 Pekerjaan "Entry-Level" dengan Potensi Penghasilan 100.000 Dollar AS
- Soal Proyek Gasifikasi Batu Bara Pengganti LPG, PTBA Tunggu Penugasan Pemerintah
- Menteri KP Targetkan Ikan Nila Karawang Jadi Sumber Protein Makan Bergizi Gratis
- Banggar DPR Setujui Tambahan Anggaran Rp 5 Triliun untuk 7 Kemenko
- PMI Manufaktur Kontraksi 5 Bulan Berturut-turut, Kemenperin: Kami Tidak Heran...
- Emisi Gas Rumah Kaca Industri Terus Naik, Menperin: Penggunaan Energi Penyumbang Terbanyak
- Mentan Hentikan Sementara Impor Daging Domba, Ini Alasannya
- Istana Sebut Prabowo Belum Bahas Pembentukan Kementerian Penerimaan Negara
- PPKGBK Pasang Beton Permanen di Akses Masuk Hotel Sultan
- Menteri ATR Pastikan Tidak Perpanjang HGB Perusahaan Pontjo Sutowo di Hotel Sultan
- Bank DKI Dukung Edukasi Literasi Keuangan untuk Stabilitas Ekonomi Daerah
- Tak Perlu Gedung Baru, Menpan-RB Percepat Hadirnya Mal Pelayanan Publik
- Bank BJB Raup Laba Rp 1,7 Triliun pada Kuartal III 2023, Ditopang Kredit