pattonfanatic.com

Tapera: Pembiayaan Rumah Tak Cukup Sekadar Iuran

Perumahan Subsidi (Rumah Tapera) KPR FLPP, Perumahan Gemstone, NTT
Lihat Foto

KEPUTUSAN pemerintah Indonesia untuk memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai ragam reaksi dan kritikan dari masyarakat.

Di satu sisi, permasalahan perumahan di Indonesia telah menjadi isu utama selama beberapa dekade terakhir, dengan backlog (kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat) perumahan yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang pesat, maka Program Tapera menjadi salah satu solusi konkret yang diupayakan pemerintah.

Di lain sisi, pihak yang menolak bukan hanya sekadar kritis pada besarnya beban finansial tambahan yang akan ditanggung oleh pekerja dan pemberi kerja, tetapi juga pada ketidakoptimalan penggunaan dana yang sudah ada, seperti yang diamanatkan dalam BPJS Ketenagakerjaan.

Mengingat dana yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan perumahan pekerja.

Mengacu pada PP No.55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dana Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp 460 triliun sebenarnya dapat dialokasikan untuk program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja tanpa perlu mengusung program perumahan baru. Namun, pemanfaatannya masih sangat minim dan terbatas.

Berdasarkan peraturan pemerintah teranyar tersebut, Tapera mengharuskan adanya potongan sebesar 2,5 persen dari gaji pekerja dan 0,5 persen dari gaji pemberi kerja.

Dengan total pungutan yang mencapai 18,24 persen hingga 19,74 persen dari penghasilan pekerja, tambahan biaya dari Tapera dikhawatirkan membebani pekerja dan pemberi kerja serta melemahkan permintaan pasar.

Sejatinya, Tapera bukanlah program anyar. Sejak Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung pada Agustus 1950, Indonesia telah lama mencoba memberikan solusi perumahan terjangkau bagi rakyatnya.

Kini, dengan diperkenalkannya PP 21/2024 tentang Tapera, pemerintah kembali melanjutkan komitmen tersebut.

Menilik lebih jauh, Tapera sebetulnya juga sudah dipersiapkan dengan manajemen mumpuni. Program Tapera mengumpulkan dana dari berbagai kelompok pekerja, termasuk PNS, karyawan BUMN/BUMD/BUMDes, anggota TNI dan Polri, karyawan swasta, pekerja mandiri, dan pekerja asing.

Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan dengan alokasi 40-60 persen untuk alokasi investasi, 30-55 persen untuk penyampaian manfaat langsung kepada peserta, dan 5 persen untuk dana cadangan.

Pengelolaan dana investasi dilakukan melalui kontrak investasi kolektif konvensional dan syariah.

Menjawab kekhawatiran peserta, dana juga digunakan untuk memberikan pinjaman perumahan, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR), pinjaman konstruksi, dan pinjaman renovasi.

Bank kustodian bertanggung jawab atas pengelolaan tabungan dan pengembalian dana kepada peserta Tapera, memastikan transparansi dan akuntabilitas.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga akan mengawasi proses pengelolaan dana, sementara Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) melakukan pemantauan dan evaluasi program.

Seluruh proses pengelolaan dana Tapera dijalankan dengan transparansi penuh kepada anggota, memastikan bahwa mereka mengetahui bagaimana dana mereka diinvestasikan dan dikelola.

Namun pertanyaan yang perlu dicermati dari implementasi PP 21/2024 adalah bagaimana pemerintah memastikan bahwa dana yang dikumpulkan dikelola dengan baik dan tepat sasaran? Seberapa jauh pengawasan yang akan diterapkan untuk menghindari penyalahgunaan dana?

Selain itu, perlu mempertimbangkan kemungkinan evaluasi berkala terhadap besaran iuran Tapera. Mengingat harga tanah yang bisa naik drastis dalam kurun waktu singkat.

Lantas, apakah iuran tersebut akan disesuaikan secara berkala? Dan jika iya, seberapa sering evaluasi ini akan dilakukan?

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat