Ancaman Defisit Produksi Beras Masih Mengintai
STOK beras nasional pada Juni-Oktober 2024, diprediksi defisit setelah mengalami surplus pada Maret-Mei 2024.
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan ancaman penurunan produksi padi sekitar 40-50 persen dibandingkan puncak panen raya padi pada April-Mei lalu.
Kementerian Pertanian menjelaskan, stok cadangan beras di Bulog minimal memenuhi 1 juta ton per tahun.
Dalam rilis bulanan BPS pada 1 Maret mencatat bahwa Indonesia mengalami defisit beras pada Januari-Februari 2024. Minus Januari 2024 adalah 1,61 juta ton dan Februari 1,22 juta ton, sehingga total defisit beras 2,83 juta ton.
Artinya, Indonesia masih punya utang 2,83 juta ton yang harus ditutup di luar jumlah total kenaikan yang dipenuhi untuk bulan Juni sampai akhir tahun.
Berdasarkan data yang dihimpun dari laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) tahun 2023, Indonesia jadi negara dengan konsumsi beras global terbesar keempat di dunia sebesar 35,3 juta ton sepanjang tahun lalu.
Dengan prediksi tingkat produksi beras tahun 2024, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengkhawatirkan produksi beras pada Juni hingga Oktober 2024, tidak dapat memenuhi kebutuhan beras nasional.
Hal ini harus diwaspadai Pemerintah, mengingat dampaknya sangat luas bagi sosial ekonomi Indonesia.
Defisit beras dan sosial ekonomi masyarakat
Produksi yang lebih rendah akan berdampak pada kenaikan harga beras. BPS mencatat kenaikan harga beras bisa mencapai 10 persen yang mendorong peningkatan inflasi sebesar 0,5-1 persen.
Dampaknya bagi petani akan sangat bervariasi; meskipun mereka bisa mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga, mereka juga dihadapkan pada tantangan produksi yang lebih mahal dan tidak stabil.
Petani kecil yang bergantung pada modal minim dan sumber daya terbatas bisa semakin terpuruk jika tidak ada intervensi pemerintah yang tepat.
Sementara itu, bagi konsumen terutama mereka yang berada di lapisan ekonomi bawah, akan paling terpukul oleh lonjakan harga.
Berdasarkan hasil studi LPEM UI, setiap kenaikan harga beras sebesar 5 persen berpotensi meningkatkan jumlah orang miskin hingga 500.000 orang.
Hal ini menggarisbawahi urgensi penanganan masalah ini secara cepat dan efektif, baik melalui stabilisasi pasokan, diversifikasi pangan, maupun subsidi bagi kelompok rentan.
Masalahnya bukan hanya lonjakan harga beras yang mengintai, tetapi juga peningkatan ketidakstabilan sosial-ekonomi yang dapat memperdalam jurang ketidakadilan dan kemiskinan di Indonesia.
Terkini Lainnya
- Serangan Siber Mengintai, Lindungi Data Perusahaan dengan Penggunaan Peranti yang Tepat
- UMP Sumut 2025 Naik Jadi Rp 2,9 Juta Berlaku 1 Januari
- Pendaftaran Mudik Gratis Nataru Kemenhub Dibuka, Ini Cara Daftarnya
- WeNetwork Dorong Transformasi Kepemimpinan untuk Indonesia Emas
- Pupuk Kaltim Dukung Pelestarian Ekosistem Perairan
- OJK: Penerapan Asuransi Wajib Kendaraan Bermotor Masih Tunggu Peraturan Pemerintah
- Vietnam Turunkan PPN Jadi 8 Persen, Menko Airlangga: Beda Negara, Beda Kebijakan...
- Periode Libur Nataru, Pelabuhan Penyeberangan Terapkan Skema Khusus
- OJK Sebut PPN 12 Persen Bakal Pengaruhi Daya Beli Masyarakat
- Nikmati Gaya Hidup Lebih Mudah, Ini Cara Apply Kartu Kredit Online lewat myBCA
- Digempur Risiko Geopolitik Global, OJK: Sektor Jasa Keuangan Stabil
- Harga Minyak Mentah Indonesia Turun Jadi 71,83 Dollar AS Per Barrel
- BPKH Catatkan Pencapaian Signifikan Selama Tujuh Tahun Beroperasi
- Apa Kabar Rupiah Digital? Ini Perkembangannya Menurut BI
- KCI Prediksi Penumpang Commuter Line Tembus 19,4 Juta Orang Selama Nataru 2024/2025
- Krisis jika Meremehkan Hal Mendasar
- Per 1 Juli, Ini Tanggal Tagihan dan Jatuh Tempo Paylater BCA Terbaru
- NIK Sebagai NPWP Berlaku per 1 Juli, Ini Cara Pemadanannya
- Bahan Pokok Sabtu 29 Juni 2024: Harga Ikan Kembung Naik, Bawang Merah Turun
- Studi Kantar: 10 Merek FMCG Teratas Dibeli oleh 60 Persen Masyarakat, Indomie di Peringkat Satu