Efisiensi: Satu-satunya Cara Jadi Negara Maju
“TIME is Money, Efficiency is Life”, sebuah slogan populer yang menandai reformasi ekonomi Tiongkok pada tahun 1981 ini barangkali betul–betul dijiwai oleh seluruh rakyatnya selama bertahun–tahun.
Data World Bank mencatat, hanya dalam 20 tahun terakhir GDP Tiongkok naik lebih dari sepuluh kali lipat dari 1,66 triliun dollar AS pada 2003 menjadi 17,79 triliun dollar AS pada 2023.
Walau memiliki GDP lebih besar, yakni sebesar 27,36 triliun dollar AS pada 2023, Amerika Serikat membutuhkan waktu 44 tahun untuk mendongkrak GDP dengan rasio peningkatan yang lebih dari sepuluh kali lipat.
Data World Bank mencatat GDP Amerika Serikat sebesar 2,63 triliun dollar AS pada 1979.
Jika dicermati, hanya ada satu kunci kesuksesan Tiongkok menjadi negara maju: efisiensi. Segala produk harus bisa dibuat di dalam negeri, seluruh pertambahan nilainya harus terjadi di dalam negeri, di samping itu kualitasnya harus bagus dan harganya harus murah.
Efisiensi terbukti sebagai strategi yang paling fundamental dan tahan terhadap segala krisis.
Berdasarkan data dari Trading Economics, surplus neraca perdagangan Tiongkok pada 2023 bahkan mencapai nilai 829,08 miliar dollar AS. Dua puluh dua kali lebih besar dibanding surplus neraca perdagangan Indonesia yang hanya senilai 36,911 miliar dollar AS menurut Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
Maka banyak yang seharusnya kita dapat pelajari dari Tiongkok dan efisiensinya.
Proses rantai ekonomi di negara ini masih jauh dari kata efisien. Tanpa efisiensi rasanya mimpi menjadi negara maju selamanya akan tetap menjadi mimpi.
Lalu dari manakah kita harus mulai? Tentu dari masalah yang paling mendasar dan fundamental: masalah pangan.
Logikanya sederhana: proses rantai pasok (supply chain) dan produksi pangan yang efisien akan mengakibatkan produksi pangan yang berlimpah dan harga bahan pangan menjadi murah.
Jika harga pangan murah, maka daya beli masyarakat akan terjaga dan inflasi dapat dikendalikan. Masyarakat lebih mudah sejahtera.
Jika produksi berlimpah dan harga bahan pangan murah, maka negara kita juga tentu dapat meminimalkan impor.
Kita bisa jadi negara yang berdikari, paling tidak pada soal pangan. Toh negara kita konon katanya negara agraris.
Sebagai negara agraris, impor beras yang sebesar 1,789 miliar dollar AS pada 2023 adalah hal yang sungguh ironis. Permasalahan ketidakcukupan beras ini telah terjadi berpuluh–puluh tahun lamanya dan tidak pernah dapat terselesaikan.
Terkini Lainnya
- Cara Cek Lokasi ATM BRI Terdekat via HP
- Cara Bayar Cicilan KPR BRI, BNI, dan BTN via Mobile Banking
- Cara Mudah Menghitung Zakat Penghasilan
- Japfa Comfeed Tebar Dividen Interim Rp 813,93 Miliar, Cek Jadwalnya
- Mentan Targetkan Merauke Jadi Laboratorium Raksasa Pertanian Modern
- Sido Muncul Gelar Operasi Katarak Gratis untuk 150 Masyarakat di Banjarnegara
- Daftar Kereta Api Paling Laris Sepanjang 2024, Siapa Juaranya?
- Rencana Kemendag: UMKM RI Bisa Jualan ke Filipina Nebeng Amazon
- Kabar Gembira untuk Warga Solo, Simpang Joglo Beroperasi 1 November
- Eks Gubernur BI Soedrajat Dwiwandono Dapat Penghargaan Wirakarya Adhitama FEB UI
- BNI dan Garuda Indonesia Tebar Bonus hingga 25.000 GarudaMiles
- RI Berpeluang Jadi Produsen Elektronik Rumah Tangga Terbesar Kedua Setelah China
- Prodia StemCell Gandeng BRIN Kembangkan Terapi Regeneratif
- Respons Para Menteri Jokowi saat Ditanya Kans Masuk Kabinet Prabowo
- Bus Wisata Monas Explorer 2 Baru Diresmikan, Cek Rute dan Jadwalnya
- Mentan Targetkan Merauke Jadi Laboratorium Raksasa Pertanian Modern
- Kian Melebar, Defisit APBN Juni 2024 Capai Rp 73,3 Triliun
- BTN Siapkan Dana hingga Rp 6 Triliun buat Modal BTN Syariah
- Strategi Lion Air Group Hadapi Pelemahan Rupiah dan Tarif Batas Atas yang Tak Kunjung Direvisi
- Survei BI: Keyakinan Konsumen pada Juni 2024 Menurun, tapi Tetap Kuat
- BUMN di Bawah Kemenkeu Bantu Pemberdayaan 16 Desa di Dieng