Otot Rupiah Setelah FOMC Meeting
EKSPEKTASI pemangkasan suku bunga acuan The Fed dan berbagai sentimen turut mendinamikai pasar.
Kendati masih berfluktuasi, mata uang rupiah menunjukkan apresiasi, setelah tergerus menyentuh Rp 16.400 per dollar AS sejak Juni 2024. Hingga 12 Juli 2014, kurs rupiah balik arah, mengalami penguatan 0,62 persen.
Dalam hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 1 Agustrus 2024, Fed Fund rate dipertahankan pada level 5,25-5,50 persen.
The Fed memberikan gestur dovish, seiring semakin terbukanya peluang inflasi AS menuju sasarannya 2 persen.
Investor melihat keputusan The Fed sebagai sinyal bahwa kebijakan moneter yang lebih akomodatif akan mendukung pertumbuhan ekonomi AS dan meningkatkan profitabilitas perusahaan.
Setali tiga uang, dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) sudah lebih dulu mempertahankan suku bunga acuan di 6,25 persen.
Kendati memiliki ruang cukup untuk menurunkan BI rate, karena inflasi yang tetap terjaga di bawah 3 persen. Kebijakan suku bunga acuan yang persisten, menimbang gejolak nilai tukar yang masih getas oleh faktor eksternal.
BI telah mengambil langkah-langkah efektif stabilisasi kurs. Di antaranya intervensi di pasar spot, kebijakan di pasar derivative forward melalui Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
Termasuk menarik capital inflow melalui instrumen jangka pendek SRBI (sekuritas Rupiah BI) dan SVBI (Sekuritas Valas BI).
Dari sumber BI, disebutkan, peningkatan investasi portofolio dari SRBI dan SVBI hingga Juli 2024, cukup signifikan, yaitu mencapai Rp 105,7 triliun.
Penerbitan SRBI dan SVBI telah membantu BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, sehingga meningkatkan kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia.
Capital inflow yang bersumber dari SRBI dan SVBI telah berhasil menarik minat investor asing untuk kembali berinvestasi di pasar keuangan Indonesia, sekaligus memperkuat otot rupiah.
Pelemahan rupiah yang sempat menghiasi halaman media sepanjang Juni-Juli 2024, dipantik kabar beban defisit APBN yang dikhawatirkan kian membengkak akibat kebijakan fiskal royal pemerintahan pasca-Jokowi.
Kekhawatiran akan sustainability APBN seiring kian melebarnya defisit anggaran turut membentuk persepsi pasar.
Komunikasi kebijakan yang lambat oleh otoritas ekonomi, berdampak pada disinformasi di pasar keuangan terkait resiliensi fiskal domestik.
Terkini Lainnya
- IHSG Berakhir di Zona Merah, Rupiah Datar di Pasar Spot
- Malaysia dan Kamboja Kompak Larang Ekspor Pasir Laut ke Singapura
- Soal Ekspor Pasir Laut, Kemendag: Yang Diekspor Sedimen...
- Membandingkan Sepak Terjang Bisnis Anindya Bakrie Vs Arsjad Rasjid
- Dualisme Kepemimpinan Kadin Berpotensi Bikin Investasi Melambat
- Mendorong Penerapan Ekonomi Sirkular pada Industri PVC
- "Titipan" Menhub Budi Karya untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran
- Alasan BI Tak Tunggu The Fed Turunkan Suku Bunga Acuan
- Ini Proyek Reklamasi Raksasa Singapura yang Bergantung Pasir Impor
- Masa Depan Grasberg, Tambang Freeport di Papua
- Luhut Dorong Bali International Airshow 2024 Tarik Investor Transportasi Udara
- Pertama Kali sejak Januari 2021, BI Turunkan Suku Bunga Acuan Jadi 6 Persen
- UNTR Bidik Targetkan Penjualan Emas Tembus 235.000 Ounce
- InJourney Lakukan Penataan Ulang Kawasan Candi Borobudur
- Apa Itu Obligasi: Pengertian, Jenis, Keuntungan, dan Risikonya
- Bandung Diguncang 8 Kali Gempa, KCIC Periksa Seluruh Jalur Whoosh
- Ini Proyek Reklamasi Raksasa Singapura yang Bergantung Pasir Impor
- Mengapa China Kerap Dijuluki Negara Komunis tapi Ekonominya Kapitalis?
- Mengapa BUMN China sangat Perkasa dan Mendunia?
- Ajak Anak Usaha dan Karyawannya Berbagi, MedcoEnergi Bangun Puluhan Rumah Layak Huni di Mauk Banten
- Ingat, PPPK Bisa Daftar CPNS 2024 Tanpa Harus Mengundurkan Diri
- Peserta CPNS 2024 Boleh Tak Ikut Tes SKD, Tapi...