pattonfanatic.com

G20 Sepakati Pajak Kekayaan, Akankah Efektif?

Pertemuan G20 di Brasil
Lihat Foto

JAJARAN Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari negara-negara G20 telah melangsungkan pertemuan di Rio de Janeiro, Brasil pada 25-26 Juli lalu (Harian Kompas, 26/7/2024). Sepanjang pertemuan tersebut, pajak menjadi isu yang paling dibicarakan.

Dalam hasil pertemuan yang disampaikan pada 26 Juli, negara-negara G20 akhirnya sepakat untuk mulai bekerja sama memajaki secara efektif orang-orang superkaya di dunia (, 1/8/2024).

Kesepakatan tersebut bermula dari Brasil yang mengajukan proposal pengenaan pajak kekayaan minimum 2 persen terhadap orang-orang yang kekayaannya di atas 1 miliar dollar AS (Rp 16,3 triliun).

Sebagai catatan, pada 2023, Forbes mencatat terdapat 2.640 orang di dunia yang memenuhi kriteria tersebut. Adapun 48 orang di antaranya berada di Indonesia dengan total kekayaan sekitar Rp 4.000 triliun.

Beragam reaksi muncul dari negara-negara peserta pertemuan. Amerika Serikat yang kehadirannya diwakili Menteri Keuangan sekaligus mantan Ketua Federal Reserve, Janet Yellen, menyatakan penolakan atas gagasan tersebut (Kompas.id, 26/7/2024).

Sebaliknya, mayoritas negara lainnya seperti Perancis, Spanyol, dan Afrika Selatan mendukung implementasi gagasan itu. Termasuk juga Indonesia yang kehadirannya diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani (, 29/7/2024).

Ketimpangan global yang terus meningkat menjadi alasan di balik munculnya gagasan pajak kekayaan dalam pertemuan keuangan G20.

Sepanjang 2023 saja, jumlah penduduk miskin global turun hanya 1,8 persen di saat total kekayaan sepuluh orang terkaya di dunia meningkat 465 miliar dollar AS (Rp 7.573 triliun).

Di masyarakat, dukungan serupa untuk memulai pajak atas orang superkaya juga mulai meningkat.

Survei terbaru oleh perusahaan riset pasar Ipsos menempatkan Indonesia sebagai negara G20 dengan tingkat dukungan tertinggi, mencapai 86 persen dari masyarakat yang disurvei.

Pajak kekayaan diyakini dapat meredistribusi sumber daya ekonomi yang sebagian besar terkonsentrasi di masyarakat lapisan atas. Pasalnya, kebijakan pajak yang berlaku lazim secara global saat ini dinilai belum efektif memajaki orang-orang ultrakaya karena berbagai alasan.

Pertama, di banyak negara, penghasilan pasif yang bersumber dari aktivitas investasi, seperti keuntungan saham, dividen, serta penyewaan dan penjualan properti, umumnya dikenakan pajak yang lebih rendah dibanding penghasilan aktif yang diperoleh dari menjalankan pekerjaan dan kegiatan usaha.

Misalnya, di Singapura, penghasilan aktif dikenai pajak progresif mencapai 24 persen. Sementara itu, penghasilan dividen dan keuntungan modal investasi justru dibebaskan sepenuhnya dari pajak.

Di Thailand, penjualan saham perusahaan di bursa efek juga dibebaskan secara penuh dari pajak. Sementara itu, penghasilan aktif justru dikenakan pajak progresif hingga mencapai 35 persen.

Model kebijakan pajak seperti ini memicu perdebatan karena masyarakat ekonomi atas justru lebih banyak memperoleh penghasilan yang sifatnya pasif dari investasi dibanding dari menjalankan pekerjaan secara aktif.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat