pattonfanatic.com

Apa yang Sebaiknya Tak Dilakukan Pemimpin: Pelajaran dari Machiavelli

Ilustrasi pemimpin.
Lihat Foto

Oleh: Eric Himawan Soetedjo dan Dr. Keni, S.E., M.M*

SELAMAT, Anda telah menerima kenaikan pangkat menjadi seorang manajer, atau kepala bagian, atau malah kepala instansi.

Kerja keras Anda selama ini terbayarkan, mulai dari memupuk relasi hingga meningkatkan performa ataupun produktivitas.

Tak sia-sia membaca setumpuk buku tentang kepemimpinan; cara mempersiapkan diri menjadi pemimpin, bagaimana menjadi seorang pemimpin yang mengayomi bawahan, beserta atribut terpuji lainnya yang dapat diharapkan dari seorang atasan.

Namun, tersisa satu hal yang belum sempat Anda pelajari; bagaimana mempertahankan posisi kepemimpinan?

Sesungguhnya topik ini merupakan pokok bahasan yang sangat kuno: 500 tahun yang lampau Niccolo Machiavelli, seorang kanselir dari Republik Firenze, telah menghasilkan suatu risalah singkat berjudul “Il Principe” (The prince/Sang Pangeran).

Dalam 26 bab dengan panjang rerata 4 halaman pada tiap babnya, karya tersebut menjelaskan berbagai cara seorang penguasa dapat merebut kekuasaan serta mempertahankannya, berdasarkan pengamatan Machiavelli terhadap pergolakan politik di Italia pada akhir abad ke-15.

Ia mengambil contoh kasus dari berbagai figur pemimpin pada masanya, seperti Ferdinand dari Aragon (raja pertama Spanyol), Girolamo Riario dan Caterina Sforza (penguasa kota Forli), dan terutama Cesare Borgia sang condottiero (kepala pasukan) ambisius sumber inspirasi utama risalah tersebut.

Oleh karena pendekatannnya yang pragmatis dan jauh dari etis, “Il Principe” telah banyak dikecam oleh peneliti, sejarawan, dan pengamat politik sebagai “buku panduan seorang tiran”.

Namun justru dengan dijabarkannya berbagai contoh kepemimpinan nirempati tersebut, kita dapat memetik pelajaran tentang apa yang sebaiknya tidak dilakukan seorang pemimpin dalam mempertahankan jabatannya.

Lebih baiknya lagi, Machiavelli telah memberikan contoh-contoh kesalahan yang menyebabkan bangsawan-bangsawan Italia pada zamannya kehilangan kekuasaan dan kepercayaan rakyat.

Contoh pertama adalah pemimpin yang membeli kepercayaan bawahannya dengan sifat murah hati (liberality), kalau tidak mau disebut suap.

Dalam konteks korporat, liberalitas dapat berupa tambahan uang makan, tunjangan transportasi yang digembungkan, ataupun kenaikan jabatan tiba-tiba.

Dalam konteks negara (lebih dekat dengan pokok bahasan Machiavelli), liberalitas mewujud pada rakyat dan abdi negara dalam bentuk subsidi, penghapusan pajak, atau tambahan insentif bagi pegawai instansi tertentu.

Machiavelli berargumen, seorang pemimpin yang membeli citranya dengan upeti akan diharapkan terus-menerus mengalirkan berbagai pemberian tersebut hingga habis hartanya.

Lebih buruk lagi ialah seorang pemimpin yang, demi menjaga reputasi sebagai seorang yang murah hati, mengambil dana tersebut dari sumber-sumber yang tidak sah.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat