pattonfanatic.com

Ketergantungan Berlebih pada Komoditas: Menggali Jurang "Dutch Disease" di Indonesia

Ilustrasi pengangkutan batu bara.
Lihat Foto

SEJAK awal 2024, perekonomian Indonesia terus menghadapi tantangan yang semakin kompleks.

Salah satu isu yang mengemuka adalah fenomena Dutch Disease, kondisi ekonomi di mana ketergantungan yang tinggi pada ekspor sumber daya alam, seperti batu bara dan minyak kelapa sawit, dapat menyebabkan deindustrialisasi dan menurunnya daya saing sektor manufaktur.

Dengan harga komoditas yang relatif tinggi pada semester pertama 2024, Indonesia menikmati keuntungan ekonomi signifikan.

Namun, tanpa strategi diversifikasi ekonomi yang kuat, negara ini berisiko terjebak dalam lingkaran ketergantungan yang berbahaya.

Indonesia adalah salah satu eksportir terbesar batu bara di dunia. Dalam delapan bulan pertama 2024, ekspor batu bara Indonesia mencatatkan pertumbuhan sebesar 15 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Harga batu bara yang mencapai rata-rata 160 dollar AS per metrik ton memberikan kontribusi besar terhadap surplus perdagangan dan pendapatan negara.

Namun, di balik angka-angka tersebut, ada kekhawatiran yang mendalam mengenai ketergantungan semakin besar terhadap komoditas ini.

Fenomena Dutch Disease terjadi ketika peningkatan pendapatan dari ekspor sumber daya alam menyebabkan apresiasi nilai tukar mata uang, yang pada gilirannya membuat produk manufaktur menjadi kurang kompetitif di pasar internasional.

Di Indonesia, apresiasi rupiah pada pertengahan 2024, yang mencapai Rp 14.200 per dollar AS mencerminkan tekanan dari tingginya aliran devisa hasil ekspor komoditas.

Sementara itu, sektor manufaktur, yang menjadi tulang punggung diversifikasi ekonomi, tumbuh dengan laju lebih lambat, hanya 3,8 persen pada semester pertama 2024, jauh di bawah target pertumbuhan yang diharapkan.

Tanda-tanda Dutch Disease mulai terlihat jelas di Indonesia. Pertama, apresiasi rupiah yang didorong oleh ekspor komoditas telah membuat produk manufaktur Indonesia lebih mahal di pasar internasional.

Sebagai contoh, ekspor produk tekstil dan garmen Indonesia turun sebesar 7 persen pada kuartal kedua 2024, penurunan signifikan mengingat sektor ini sebelumnya menjadi andalan ekspor non-komoditas.

Kedua, investasi dalam sektor manufaktur juga mengalami perlambatan. Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa realisasi investasi di sektor manufaktur hanya tumbuh sebesar 4,2 persen pada paruh pertama 2024, jauh di bawah pertumbuhan investasi di sektor pertambangan yang mencapai 12,5 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa investasi cenderung mengalir ke sektor yang memberikan keuntungan cepat, tetapi tidak memberikan nilai tambah jangka panjang bagi ekonomi.

Ketiga, ketergantungan yang tinggi pada ekspor komoditas juga menciptakan ketidakstabilan makroekonomi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat