Kebun Sawit Rakyat
NEGARA kita, Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia dengan volume produksi kisaran 46-47 juta ton. Pada 2022, volume ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia mencapai 26,22 juta ton dengan nilai mencapai 15,95 miliar dollar AS.
Dengan produksi sebesar itu, kontribusi Indonesia terhadap minyak sawit global sebesar 58-59 persen (USDA 2022: Ditjen Perkebunan, 2023).
Hal ini ditopang perkebunan kelapa sawit seluas 16,8 juta (audit BPKP terbaru), meningkat hampir 500.000 ha dari yang tercatat di BPS (2021) atau Ditjen Perkebunan (2023).
Perkebunan swasta besar menyumbang 52,3 persen dari luas perkebunan kelapa sawit, sementara perusahaan perkebunan negara memiliki 6,4 persen.
Sisanya (41,3 persen) atau sekitar 6,76 juta ha adalah lahan yang dikelola petani kecil, yang biasa disebut dengan ‘perkebunan sawit rakyat’.
Sepertiga dari tanaman sawit rakyat ini atau 2,25 juta ha merupakan kebun yang dikelola oleh petani plasma. Mereka menanam dan menjual tandan buah segar (TBS) sawit kepada perkebunan swasta atau perkebunan negara sebagai perusahaan inti.
Petani plasma mendapat bantuan keuangan dan bantuan teknis dari perusahaan inti.
Dua per tiga tanaman sawit rakyat tersebut atau 4,51 juta ha dikelola petani yang secara swadaya membangun kebun sawit secara mandiri dan tidak mendapatkan akses bantuan teknis atau finansial dari perkebunan besar. Mereka digolongkan sebagai petani kecil (small holders).
Kebun sawit rakyat yang merana
Hasil rata-rata TBS di lahan kebun sawit rakyat khususnya di lahan petani kecil mandiri tergolong rendah, yaitu 13,9 ton/ha atau hanya 42 persen dari hasil yang dapat dicapai oleh perkebunan besar (Monzon et al., 2023).
Ini adalah soal utama dan pertama dari kebun sawit petani kecil mandiri.
Soal kedua adalah di kawasan kebun sawit rakyat termasuk yang terbelakang dalam segala hal dibandingkan dengan petani plasma, kawasannya termasuk “enclave kemiskinan”.
Sebabnya adalah pendapatan rumah tangga petani kecil ini bergantung langsung dari penjualan hasil TBS kebun sawit mereka yang luasan lahan antara 1,2 - 2,1 ha.
Diperkirakan terdapat sekitar 2,6 juta rumah tangga petani kecil dari sekitar 7,1 juta jiwa pekebun dan pekerja yang terlibat di perkebunan sawit (Ditjenbun. 2023).
Karena itu, meningkatkan TBS akan berdampak sangat signifikan terhadap kehidupan para petani kecil ini.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini untuk meningkatkan hasil TBS tanaman sawit rakyat berfokus pada penanaman kembali (replanting) dengan bahan/bibit tanaman bersertifikat.
Perkebunan besar (swasta dan negara) umumnya memakai bibit tanaman bersertifikat, sedangkan perkebunan sawit rakyat khususnya petani swadaya biasanya menggunakan bibit tanaman tidak bersertifikat.
Bibit tanaman sawit bersertifikat (>98 persen) umumnya dari jenis sawit tenera (SNI, 2015). Sebaliknya, bibit tanaman yang tidak bersertifikat biasanya menunjukkan frekuensi sawit dura yang lebih tinggi.
Tingkat ekstraksi minyak (Oil Extraction Ratio, OER) umumnya lebih besar pada sawit tenera, sementara tanaman dura dengan OER lebih rendah 35-50 persen.
Jadi, masuk akal dan rasional jika pemerintah menggalakkan program replanting bagi tanaman sawit rakyat.
Namun, persoalannya adalah jika petani kecil ini mengadopsi bahan tanaman bersertifikat hanya dapat dilakukan pada saat penanaman awal melalui pembukaan lahan baru atau penanaman kembali, yang biasanya terjadi ketika perkebunan mencapai 25 tahun.
Selain itu, ada masa tunggu setelah penanaman dilakukan yang kisarannya antara 3-4 tahun. Selama masa tunggu ini mereka kehilangan penghasilan (opportunity cost) yang rutin setiap panen TBS.
Entah bersertifikat atau tidak (Tenera atau Dura) tetaplah harus dipupuk jika inginkan hasil yang bagus.
Petani yang mengelola kebun sawit rakyat dengan frekuensi dura lebih rendah belum tentu menerima manfaat ekonomi yang terkait dengan OER yang lebih tinggi.
Petani swadaya ini harus menghasilkan volume yang cukup dan secara kolektif menjual langsung ke pabrik yang akan menilai bahan baku mereka. Volume minyak yang memadai hanya didapatkan melalui penggunaan pupuk yang pas. Itulah rule of thumb agronomy.
Karena itu, peluang keuntungan tidak dapat diambil oleh petani swadaya karena industri tidak mengukur hasil minyak di tingkat lapangan dan harga yang diterima oleh petani tidak bergantung pada frekuensi dura.
Sehingga hanya sedikit insentif yang diterima petani sawit rakyat untuk penggunaan bahan tanam bersertifikat jika tidak dipupuk dengan aturan agronomi yang benar.
Terkini Lainnya
- Harga Bahan Pokok Senin 9 September 2024, Semua Bahan Pokok Naik, Kecuali Garam Halus Beryodium
- IHSG Diperkirakan Bakal Melemah Awal Pekan Ini, Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya
- IHSG Masih Ditopang Sektor Keuangan dan Kesehatan, Simak Rekomendsi Saham IPOT
- Wacana Subsidi Tiket KRL Berbasis NIK dan AI, Sudah Sampai Mana Pembahasannya?
- Kinerja Wall Street Masih Dibayangi Laporan Tenaga Kerja AS
- Dalam 5 Tahun, Transformasi Digital Ferizy Jadi Salah Satu Pencapaian Terbesar ASDP
- PGN Incar Peluang Pemanfaatan Gas Andaman di Ajang IAF 2024
- [POPULER MONEY] Kata OJK soal Gaji Pekerja Dipotong buat Dana Pensiun | Avtur RI Termahal Se-Asia Tenggara? Ini Kata Pertamina
- Apa Itu NPL atau Non-Performing Loan?
- OJK Luruskan Kabar Dana Pensiun Tak Bisa Dicairkan 10 Tahun
- Pendapatan Asli Daerah APBN Provinsi DKI Jakarta yang Terbesar
- 4 Sumber Pendapatan Asli Daerah dan Pengelompokannya Sesuai UU
- Indodax Sebut Harga Bitcoin Berpotensi Lampaui Ekspektasi Bulan Ini
- Beragam Contoh Pendapatan Asli Daerah dan Pengelompokannya
- INKA Targetkan Pabrik Kereta di Banyuwangi Beroperasi Penuh Tahun Depan
- IHSG "Meradang" di Awal Sesi, 288 Saham Masuk Zona Merah
- Naik Rp 2.000, Cek Harga Emas Antam Rabu 4 September 2024
- IHSG Diproyeksi Melemah Terbatas, Simak Rekomendasi Saham 4 September 2024
- Wall Street Anjlok "Tersengat" Saham Teknologi
- Dua Investor Singapura Lirik Sektor Energi dan Pendidikan di IKN