pattonfanatic.com

IESR: Pensiun Dini PLTU Batu Bara Butuh Dibiayai APBN

PLTU Paiton.
Lihat Foto

JAKARTA, - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pemerintah perlu memberikan dukungan fiskal untuk membiayai percepatan transisi energi di sektor ketenagalistrikan.

Hal ini memungkinkan karena pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 tahun 2023.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memperkirakan, investasi untuk mencapai dekarbonisasi di sistem energi sebesar 30-40 miliar dollar AS per tahun.

Sementara itu, untuk selaras dengan pencapaian target kenaikan temperatur global 1,5 derajat celsius, maka 2-3 gigawatt (GW) kapasitas PLTU batubara perlu berhenti operasinya secara bertahap tiap tahun hingga 2045.

Baca juga: Soal Rencana Pensiun Dini 13 PLTU, Bahlil: Lagi Dikaji

Oleh karenanya, pendanaan dari sumber APBN ini diperlukan dalam rangka membuat transaksi dari pengakhiran operasi PLTU tersebut layak secara finansial.

"Pembiayaan pengakhiran operasional PLTU batubara melalui APBN diharapkan dapat mencakup PLTU milik PT PLN (Persero)," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (26/9/2024).

Menurut Fabby, pendanaan dari APBN akan menutup kesenjangan pendanaan pengakhiran operasi PLTU lebih awal milik PLN dari luar negeri atau lembaga keuangan internasional karena sejumlah isu mengenai valuasi nilai PLTU tersebut. Pendanaan dari APBN yang paling memungkinkan dalam kondisi ini.

Selain itu, dia menambahkan, pengakhiran operasi PLTU milik PLN akan mengalihkan dana kompensasi tersebut ke kas PLN untuk memperkuat permodalan PLN melakukan investasi yang lebih besar pada pembangkit energi terbarukan dan transmisi kelistrikan.

Studi Climate Policy Implementation Check IESR ini menyoroti terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan PMK No. 103/2023 untuk memastikan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

Pertama, diperlukan harmonisasi kebijakan lintas sektor untuk memastikan PMK ini sejalan dengan kebijakan terkait, seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), kewajiban pasar domestik (DMO) batubara, subsidi bahan bakar fosil, dan peraturan fiskal lainnya.

Kedua, meningkatkan transparansi dan mekanisme pelaporan dan evaluasi kebijakan yang sejauh ini belum termuat dalam regulasi ini.

Ketiga, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai pengelola platform perlu memperkuat mandatnya untuk mengakses sumber daya keuangan yang lebih besar. Selain itu, platform ini perlu memiliki kerangka kerja yang jelas untuk mekanisme pemulihan biaya (cost recovery).

Baca juga: Luhut Sebut RI Punya 400 Proyek Transisi Energi, Termasuk Suntik Mati PLTU Suralaya dan Cirebon

Sementara itu, Staf Program Transisi Berkeadilan, IESR, Muhammad Aulia Anis mengatakan pada 2022, alokasi anggaran mitigasi iklim dari APBN untuk sektor energi dan transportasi mencapai Rp 19,5 triliun atau sekitar 1,3 miliar dollar AS.

Jumlah ini menunjukkan pemerintah mulai berkomitmen untuk mendukung transisi energi.

Namun, investasi ini masih jauh dari angka yang dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi berkeadilan, sehingga membutuhkan lebih banyak sumber pendanaan publik dan swasta.

"Transisi energi di Indonesia membutuhkan langkah-langkah strategis yang tidak hanya mempercepat penggunaan energi terbarukan tetapi juga mengatasi berbagai kesenjangan dalam institusi, pengawasan, dan pendanaan. Pemerintah perlu terus memperkuat kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mewujudkan transisi energi yang cepat, adil, dan berkelanjutan," tuturnya.

Baca juga: Sri Mulyani Ungkap Dampak Suntik Mati PLTU Cirebon

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat