Inflasi Tahunan September 2024 Diprediksi Turun
JAKARTA, - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 akan terjadi inflasi sebesar 1,92 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Dengan demikian, tingkat inflasi September 2024 masih akan terkendali karena berada di kisaran target tahun ini yaitu 1,5-3,5 persen.
"Tingkat inflasi IHK tahunan diproyeksikan melandai, dari 2,12 persen yoy di bulan Agustus menjadi 1,92 persen yoy di bulan September," ujarnya saat dihubungi , Senin (30/9/2024).
Baca juga: Isyarat Krisis dari Deflasi: Evaluasi Kritis Stabilitas Ekonomi Indonesia
Sementara itu, inflasi IHK inti tahunan diperkirakan sedikit meningkat dari 2,02 persen yoy menjadi 2,04 persen yoy, terutama disebabkan oleh efek dasar yang rendah.
Inflasi tahunan dari kelompok harga yang diatur pemerintah (administered price) diperkirakan relatif stabil pada level 1,69 persen yoy.
Sebaliknya, inflasi harga bergejolak tahunan (volatile food) diperkirakan menurun secara signifikan dari 3,04 persen yoy menjadi 0,79 persen yoy, seiring dengan penurunan harga bahan makanan.
Inflasi terkendali
Josua juga memperkirakan, inflasi sepanjang 2024 masih tetap terkendali sesuai target pemerintah, bahkan cenderung akan turun dibandingkan 2023.
Proyeksi inflasi yang lebih rendah ini, kata Josua, dapat memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuannya sebagai respons terhadap potensi penurunan suku bunga bank sentral Ameika Serikat (The Fed).
"Kami memproyeksikan tingkat inflasi pada tahun 2024 sekitar 2,33 persen (dibandingkan 2,81 persen pada tahun 2023)," ucapnya.
Dia menjelaskan, inflasi sepanjang sisa tahun ini akan terjaga karena pemerintah cenderung menunda penerapan cukai plastik dan minuman kemasan berpemanis untuk mendukung daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, risiko inflasi barang impor (imported inflation) juga cenderung rendah sejalan dengan tren penguatan nilai tukar rupiah.
Tekanan inflasi dari harga energi global yang sebagian besar disebabkan oleh ketidakpastian geopolitik Timur Tengah juga dapat diimbangi oleh risiko penurunan permintaan global.
"Risiko kenaikan dapat muncul menjelang akhir tahun, namun lebih didorong oleh peningkatan permintaan musiman selama perayaan Natal dan Tahun Baru," tuturnya.
Baca juga: Mendagri Tito Blak-blakan Modus Kepala Daerah Akali Data Inflasi BPS
Terkini Lainnya
- Ini Tantangan Perusahaan RI Terapkan "Assurance" pada Laporan Keberlanjutan
- Apa Itu Sukuk Tabungan? Ini Pengertian, Kupon, hingga Keuntungannya
- Pengusaha Keluhkan Peraturan Ketenagakerjaan Kembali Berubah
- Maksimalkan Penjualan Online Bersama Diginesia, Spesialis Layanan Marketplace Indonesia
- Jadwal KA BIAS Solo-Madiun (PP)
- Sekilas Mengenal Danantara, "Superholding" BUMN Baru yang Bakal Kelola Aset "Jumbo" Rp 9.480 Triliun
- Jurus Lo Kheng Hong Berburu "Cuan" dari Pasar Modal
- Jika Suku Cadang Pesawat Bebas Bea Impor, Apakah Harga Tiket Bisa Turun?
- Profil Djoko Siswanto, Kepala SKK Migas Pengganti Dwi Soetjipto
- Apindo Khawatir Kemenangan Trump di Pilpres AS Berdampak Pada Dunia Usaha Indonesia
- Trump Menang Pilpres AS 2024, Rupiah Berpotensi Tembus Rp 16.000
- Pertamina Bidik Perluasan Bisnis Energi Hijau ke Timur Tengah
- Rusdi Kirana Dikabarkan Bakal Jadi Dirut Garuda? Ini Respons Erick Thohir
- [POPULER MONEY] Danantara Bakal Kelola Aset Rp 9.480 T | Imbas Trump Menang, Kekayaan Elon Musk Naik Rp 328,4 T
- Erick Thohir Sebut Divestasi Saham Freeport Harus Ekstra Hati-hati
- Profil Djoko Siswanto, Kepala SKK Migas Pengganti Dwi Soetjipto
- Bahlil Minta ExxonMobil Kerek Produksi Minyak Cepu Jadi 150.000 Barrel Per Hari
- Dirut PGN Pastikan Pemanfaatan Jargas Rumah Tangga di Sleman Lancar
- Galeri 24 Beri Edukasi Masyarakat tentang Manfaat Investasi Emas
- 10 Negara Pusat Talenta Berdaya Saing Tinggi di Dunia, Hanya 2 di Asia
- Komitmen Tumbuh bersama Indonesia, Sampoerna Bangun Keberlanjutan dan Hadirkan Manfaat bagi Masyarakat Luas