pattonfanatic.com

Urgensi Revitalisasi Program "Food Estate"

Kebun singkong seluas 600 hektare di Desa Tewai Baru, Gunung Mas, Kalimantan Tengah, mangkrak
Lihat Foto

IDEALNYA, program Food Estate (lumbung pangan) memang dimaksudkan untuk memperbaiki dan memperkuat daya tahan pangan nasional.

Niat awal untuk memastikan ketersediaan bahan pangan yang diproduksi di ranah domestik alias tidak tergantung kepada pasar impor (supply side).

Secara teknis, tujuan utamanya untuk meningkatkan produksi bahan pangan di suatu negara. Namun, ketersediaan bahan pangan dalam kacamata “food estate” tersebut sejatinya tidak sekadar asal “tersedia”, tapi tersedia karena diproduksi di dalam negeri, dikerjakan oleh “anak negeri”, dan dikembangkan sesuai kebutuhan di dalam negeri.

Pasalnya, di dalam konsep ketahanan dan keamanan pangan (food resilience dan food security), availability atau ketersediaan menjadi prasyarat utama.

Namun, ketersediaan yang dimaksud tidak spesifik ditopang oleh produksi di dalam negeri. Boleh jadi bahan pangan tersedia secara lancar dan berkelanjutan di pasaran dengan harga yang juga cenderung stabil, namun asal muasalnya justru dari pasar internasional atau diimpor.

Model seperti ini juga masih masuk ke dalam parameter “availability” di dalam konsep besar ketahanan pangan.

Setidaknya secara minimalis, asumsinya adalah bahan pangan ada di pasaran, pasokannya terjamin sehingga harganya tidak bergejolak dan harga tersebut terjangkau oleh mayoritas masyarakat (access/affordability).

Namun, konsep peningkatan produksi bahan pangan via program food estate tidak sekadar berbicara tentang ketersediaan, yang dalam konteks tertentu bisa saja hanya fokus pada kondisi “supply” di pasar.

Food estate juga berbicara tentang ketersediaan pangan dari berbagai sisi, mulai dari hulu sampai hilir, sebagai landasan dasar untuk terciptanya ketahanan dan keamanan pangan.

Dengan asumsi bahwa menyandarkan “ketersediaan” bahan pangan kepada kebijakan perdagangan (trade policy) atau impor justru berpeluang untuk tidak terciptanya ketahanan pangan karena rentan terhadap gangguan perdagangan (hambatan supply chain) di satu sisi dan terhadap instabilitas nilai kurs mata uang di sisi lain.

Hal itu menyebabkan gagalnya parameter “availability” lalu meningkat kepada parameter selanjutnya, yakni “acces/affordability” dan “utilitisation" (pemenuhan gizi minimal masyarakat dari bahan pangan).

Misalnya, harga pangan yang mendadak menjadi mahal di pasar internasional akibat krisis pangan dunia, pelemahan mata uang rupiah atau karena terhambatnya “supply chain” bahan pangan, akan membuat harga bahan pangan di dalam negeri juga ikut menjadi mahal di satu sisi dan cenderung tidak stabil (volatile) di sisi lain, sehingga semakin sulit untuk diakses oleh masyarakat golongan menengah ke bawah.

Artinya, bahan pangannya boleh jadi ada di pasaran, tapi harganya terlalu mahal untuk dijangkau oleh kalangan tertentu. Sehingga dari sisi ketersediaan (availability) sebenarnya telah terpenuhi, tapi dari sisi akses dan affordability-nya justru tak terpenuhi.

Indonesia seringkali mengalami hal seperti ini. Pada waktu-waktu tertentu harga bahan pangan mendadak naik tajam karena pasokan dalam negeri menipis dan kurs Rupiah melemah.

Dampaknya, di satu sisi daya beli kelas menengah tertekan cukup signifikan dan di sisi lain pemerintah harus merealisasikan program bantuan sosial atau bahan pangan bersubsidi untuk memudahkan akses kelompok masyarakat tertentu kepada komoditas pangan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat