pattonfanatic.com

Dilema Pajak Kelas Menengah di Tengah Penurunan Ekonomi

Kelas menengah turun kelas. Para penumpang yang sebagian besar pekerja komuter memadati peron Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, saat jam pulang kerja, Jumat (10/2/2023). Pemerintah memberikan sinyal akan tetap menaikkan PPN pada 2025.
Lihat Foto

DI TENGAH penurunan jumlah penduduk kelas menengah dan rencana pemerintah untuk meningkatkan tarif pajak, kontribusi kelas menengah terhadap penerimaan pajak negara menjadi sorotan.

Kelas menengah dianggap sebagai tulang punggung perekonomian. Penurunan jumlah mereka menimbulkan kekhawatiran tentang kebijakan fiskal yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kharas dan Geoffrey Gertz (2010) mendefinisikan kelas menengah sebagai penduduk dengan pengeluaran harian antara 10-100 dollar AS per orang dalam purchasing power parity terms atau paritas daya beli.

Paritas daya beli adalah ukuran harga barang tertentu di sejumlah negara dan digunakan untuk membandingkan daya beli absolut mata uang negara bersangkutan.

Kontribusi kelas menengah

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan fakta yang mengejutkan bahwa kelas menengah menyumbang lebih dari setengah penerimaan pajak negara.

Berdasarkan Indonesia Economic Outlook Kuartal III 2024 yang mereka rilis, kelas menengah menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak.

Namun, klasifikasi kontribusi pajak yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tampaknya belum mencerminkan realitas ini.

Menurut DJP, kelas menengah hanya menyumbang 1 persen total penerimaan pajak negara. Karena pengelompokan penerimaan pajak masih berfokus pada subjek pajak dan jenis pajak, bukan pada strata ekonomi masyarakat.

Penurunan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menjadi alarm yang tidak bisa diabaikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren penurunan yang konsisten sejak 2019, dengan pandemi Covid-19 menjadi katalis utama.

Fenomena ini bukan hanya angka statistik belaka, tetapi cerminan dari tekanan ekonomi yang dihadapi oleh lapisan masyarakat yang seharusnya menjadi penggerak utama perekonomian.

Penerimaan pajak yang mencapai Rp 1.196,54 triliun per Agustus 2024, mungkin terlihat menggembirakan, namun angka ini menyembunyikan realitas yang lebih kompleks.

Penurunan 4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, mengindikasikan adanya permasalahan struktural yang perlu segera diatasi.

Salah satu faktor kunci yang sering luput dari perhatian adalah dominasi sektor informal dalam lapangan kerja kelas menengah.

Banyak pekerja di sektor ini yang tidak terjaring dalam sistem perpajakan, menciptakan celah besar dalam potensi penerimaan negara. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam merancang kebijakan pajak yang inklusif dan berkeadilan.

Peningkatan penerimaan pajak

Upaya pemerintah untuk mengembangkan core tax system patut diapresiasi sebagai langkah progresif menuju sistem perpajakan yang lebih komprehensif.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat