pattonfanatic.com

Isu Pangan dan Desa, Dua soal Fundamental

Petani memanen padi di Desa Penganjang, Kecamatan Sindang, Indramayu, Jawa Barat, Senin (4/3/2024). Menurut petani, harga gabah kering saat ini mengalami kenaikan menjadi Rp1,1 juta per kuintal dari sebelumnya Rp950 ribu per kuintal.
Lihat Foto

ADA hal baru dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto, yakni Menko pangan. Sejalan dengan visi besar Prabowo menciptakan ketahanan pangan dan lebih jauh lagi kedaulatan pangan nasional.

Sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, maka ketersediaan kebutuhan vital seperti pangan menjadi fundamental.

Dengan demikian, orientasi ketahanan pangan nasional tidak lagi sebatas stabilisasi dengan memperkuat pasokan secara jangka pendek dengan cara impor, tapi meningkatkan produktivitas pangan nasional berkelanjutan.

Basis dari orientasi ketahanan pangan nasional haruslah berdasarkan peningkatan kapasitas produksi dalam negeri.

Dengan demikian, pasokan tambahan untuk stabilisasi harga, tidak ditempuh melalui impor sebagai satu-satunya cara, tapi melalui dukungan produksi dalam negeri dengan menyerap hasil pertanian petani domestik.

Secara data pun terjadi ambigu. Misalnya pada komoditi beras, dari data pemerintah, selalu terjadi surplus beras tiap tahun. Namun, faktanya impor beras pun terjadi tiap tahun.

Sebagai contoh, produksi beras menurut BPS pada 2023 untuk konsumsi pangan penduduk adalah 30,90 juta ton. Sementara kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga nasional di tahun yang sama 22,64 juta ton.

Dari data ini maka semestinya terjadi surplus sebesar 8,26 juta ton. Faktanya, pada 2023, pemerintah mengimpor beras 1,7 juta ton. Inilah yang menjadi misteri, bila terjadi surplus, kenapa pemerintah melakukan impor?

Bila pemerintah berdalih bahwa impor tersebut untuk pencadangan beras, maka semestinya yang diserap adalah hasil petani. Bukan sebaliknya, mengimpor di saat musim panen yang berdampak pada jatuhnya harga beras petani sehingga mereka makin kesulitan, karena kebijakan.

Bila kita bicara tentang kemiskinan struktural, maka kebijakan soal pangan; beras, memperlihatkan bahwa impor beras di saat terjadi surplus, dan pemenuhan pasokan tidak dengan cara menyerap beras petani, adalah pemiskinan struktural petani akibat kebijakan.

Pasalnya, bila harga jual hasil beras petani jatuh, maka hasil yang diperoleh tak menutup biaya input. Apalagi petani sulit mengakses institusi pembiayaan formal, sehingga lebih banyak meminjam modal dari rentenir.

Sehingga bila harga jual beras petani jatuh, maka tak akan menutup biaya produksi yang dikeluarkan para petani.

Sehingga orientasi dari politik pangan—menuju ketahanan pangan, perlu memiliki landasan pada kesejahteraan petani. Swasembada pangan jangan sampai berorientasi korporasi yang menguntungkan dari sisi national gain, tapi justru mematikan petani kecil di desa.

Demikian pun pemenuhan pasokan melalui pencadangan pangan pokok seperti beras, jangan sampai terus mengandalkan impor, sementara pasokan beras domestik dari petani tidak terserap.

Secara national gain, impor beras cenderung murah sehingga negara untung, tapi tidak berdampak bagi kesejahteraan para petani.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat