pattonfanatic.com

Dedolarisasi dan Kekuatan BRICS

Presiden China Xi Jinping (kiri), Presiden Rusia Vladimir Putin (tengah), dan Perdana Menteri India Narenda Modi (kanan) saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-16 BRICS di Kota Kazan, Rusia, Rabu (23/10/2024).
Lihat Foto

ALIANSI BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan saat ini memegang peran penting dalam percaturan ekonomi global, terutama terkait upaya mengurangi ketergantungan pada dollar Amerika Serikat.

Langkah BRICS memperluas keanggotaan—termasuk mengundang Indonesia dan 12 negara lainnya—menjadi tanda semakin kuatnya upaya membangun blok ekonomi alternatif yang mampu menyaingi dominasi Barat.

Bagi Indonesia, tawaran untuk bergabung dalam BRICS tidak hanya membuka peluang baru, tetapi juga menuntut pertimbangan kritis mengenai posisi ekonomi dan strategi dedolarisasi yang mungkin diambil.

BRICS merupakan kekuatan ekonomi besar yang secara kolektif memiliki hampir 25 persen total PDB global dan lebih dari 41 persen populasi dunia.

Hal ini tentu menarik bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang berupaya memperkuat pengaruhnya dalam ekonomi internasional.

Jika Indonesia resmi bergabung dengan BRICS, maka akan memperkuat blok tersebut sebagai kekuatan ekonomi yang lebih beragam, terutama dengan masuknya negara-negara kaya sumber daya seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Dalam konteks global yang semakin multipolar, pengaruh ekonomi BRICS yang diperluas dapat menjadi penyeimbang bagi dominasi Barat yang selama ini mendikte arah kebijakan ekonomi dunia.

Namun, dedolarisasi sebagai bagian dari agenda BRICS bukan tanpa risiko, terutama bagi Indonesia yang masih sangat bergantung pada perdagangan yang didenominasi dollar AS.

Sekitar 88 persen transaksi internasional masih menggunakan dollar AS, termasuk sebagian besar ekspor-impor Indonesia.

Keikutsertaan Indonesia dalam BRICS, dengan agenda untuk mengurangi ketergantungan pada dollar AS, bisa mengubah dinamika perdagangan internasional negara ini.

Di satu sisi, mengurangi ketergantungan pada dollar AS menawarkan kemandirian yang lebih besar dalam hal ekonomi dan keuangan, terutama menghadapi risiko fluktuasi nilai tukar yang sering dikendalikan oleh kebijakan moneter AS.

Di sisi lain, mengadopsi dedolarisasi secara penuh akan membutuhkan stabilitas nilai tukar yang kuat, ketahanan sistem finansial, dan jaminan likuiditas, yang mungkin belum cukup solid di Indonesia saat ini.

Keputusan bergabung dengan BRICS akan membawa Indonesia ke dalam lingkaran ekonomi yang dipimpin oleh negara-negara besar seperti China dan Rusia, yang secara aktif mendorong penggunaan mata uang lokal dan alternatif dalam transaksi perdagangan internasional.

Namun, komitmen untuk mendukung dedolarisasi harus dilihat dalam konteks kondisi ekonomi dalam negeri.

Indonesia saat ini memiliki hubungan ekonomi yang penting dengan AS dan Eropa Barat, yang keduanya sangat bergantung pada dollar AS.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat