pattonfanatic.com

Swasembada Pangan Saja Tidak Cukup

Foto udara jalan usaha tani yang dibangun dengan menggunakan beton membentang di kawasan pertanian di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Minggu (25/2/2024). Pembangunan jalan di kawasan produksi  pertanian tersebut untuk memudahkan akses petani serta distribusi hasil pertanian.
Lihat Foto

DALAM pidato awal jabatannya sebagai Presiden di Sidang Paripurna MPR, Minggu (20/10/2024), Presiden Prabowo Subianto mencanangkan agar Indonesia segera swasembada pangan.

Dia menyatakan, “Kita tidak boleh tergantung sumber makanan dari luar. Dalam krisis, dalam keadaan genting, tidak ada yang akan mengizinkan barang-barang mereka untuk kita beli. Karena itu, tidak ada jalan lain, dalam waktu segera kita harus mencapai ketahanan pangan.” (Kompas, 20 Oktober 2024).

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman merinci, untuk mencapi target swasembada pangan, pemerintah akan menempuh tujuh strategi utama, yaitu mendorong anggaran di sektor, intensifikasi dan modernisasi pertanian, perluasan lahan, revitalisasi infrastruktur irigasi, perekrutan generasi muda, program pangan bergizi, dan program kemandirian energi.

Amran optimistis, tujuh strategi itu akan membawa Indonesia berswasembada pangan dalam 4-5 tahun ke depan.

Pertanyaanya, apakah tujuh langkah ambisius menuju swasembada pangan itu selaras dengan problematika pangan di Indonesia?

Untuk memberikan jawaban atas pertanyaanya, marilah kita mengurai permasalahan pangan di Indonesia secara singkat.

Pangan adalah salah satu masalah nasional dan global yang paling pelik. Sebagai kebutuhan paling mendasar manusia, ketersediaannya adalah wajib. Namun, tersedia saja tidak cukup, pangan juga harus terjangkau, aman, bergizi, dan adil.

Seiring ledakan populasi, dampak perubahan iklim, keterbatasan lahan, dan tekanan lingkungan hidup yang semakin hebat, penyelenggaraan sistem pangan juga dituntut untuk berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Terkait kebutuhan adanya ketersediaan pangan yang terjangkau, aman, bergizi, adil, dan berkelanjutan tersebut, setidaknya ada sembilan masalah yang menghantui sistem pangan Indonesia hari ini.

Pertama, kerentanan pangan. Indonesia berada di peringkat 77 dari 125 negara dalam Global Hunger Index (2023).

Kerentananan tersebut terutama menyangkut aspek tingginya angka kekurangan gizi, anak kurus, pertumbuhan terhambat, kematian anak. Satu dari tiga anak stunting, sementara 50 persen penduduk kekurangan konsumsi sayur, buah, dan pangan hewani.

Kedua, harga pangan relatif tinggi. Harga pangan melonjak sejak 2023. Kenaikan harga beras hingga 14 persen dan gula 20 persen pada 2023.

Faktor penyebab utama adalah dampak perubahan iklim, terutama dalam bentuk El Nino, kekeringan, perubahan pola musim.

Kenaikan harga pangan menekan rumah tangga berpenghasilan rendah, serta mempersulit akses pangan yang dapat memicu meningkatnya masalah gizi dan kesehatan.

Ketiga, kedaulatan pangan terancam. Ketergantungan impor pangan utama (beras dan gandum) meningkat, juga terjadi pergeseran konsumsi dari pangan lokal ke beras. Sementara, gandum yang 100 persen impor, dalam 10 tahun terakhir hadir sebagai sumber ketergantungan baru.

Keempat, terjadi pergeseran pola konsumsi. Anak-anak dan remaja semakin meninggalkan pangan lokal. Lemahnya literasi gizi dan rendahnya pengembangan pangan lokal kian mendorong pergeseran itu.

Kelima, dampak perubahan iklim. Degradasi agroekosistem terjadi di sentra-sentra pangan kita. Di sisi lain, strategi adaptasi belum signifikan dilakukan. Program-program semacam pompanisasi yang banyak dilakukan di berbagai tempat, hanya solusi jangka pendek.

Keenam, krisis sumber daya manusia pertanian. Mayoritas petani berusia lanjut, minat anak muda rendah.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat