pattonfanatic.com

Waspada, Maskapai Penerbangan Bangkrut Melebihi Sritex

Petugas darat mempersiapkan kelaikan pesawat sebelum melakukan penerbangan di Terminal 1 A Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (24/4/2022). PT Angkasa Pura II cabang Soekarno Hatta mencatat pada H -9 Idul Fitri 1443 H atau Sabtu (23/4/2022) pergerakan penerbangan mencapai 909 penerbangan domestik dengan total penumpang mencapai 103 ribu lebih penumpang yang melewati Bandara Soetta. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.
Lihat Foto

AKHIR-akhir ini, kita dikejutkan berita tentang raksasa bisnis tekstil Indonesia, PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang mengalami pailit karena mempunyai utang sebesar Rp 25 triliun.

Pabrik textil terbesar se-Asia Tenggara ini juga membukukan kerugian sebesar Rp 421 miliar pada semester I tahun 2024.

Presiden Prabowo Subianto sampai memerintahkan empat kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Tenaga Kerja untuk segera menangani masalah ini, jangan sampai menjadi lebih buruk mengingat Sritex mempunyai karyawan sekitar 50.000 orang.

Namun tahukah Anda, ada sektor bisnis yang saat ini kondisinya juga tidak baik-baik saja. Jika dibiarkan, maka kondisi dan dampaknya akan lebih parah daripada Sritex. Sektor bisnis tersebut adalah bisnis penerbangan.

Parah dan kronis

Ibarat orang sakit, bisnis penerbangan nasional sudah parah dan kronis. Hal ini bahkan sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19.

Dapat diketahui dari tahun 2017-2018, di mana pada tahun itu maskapai sebagai aktor utama pada bisnis penerbangan mengalami kerugian yang sangat besar.

Misalnya, dari laporan keuangan Garuda Indonesia Group tahun 2018 yang menyatakan kerugian bersih sebesar 175,02 juta dollar AS atau sekira Rp 2,63 triliun. Begitu juga maskapai Indonesia AirAsia yang rugi hingga Rp 907 miliar.

Garuda dan AirAsia adalah dua perusahaan terbuka sehingga laporan keuangannya dapat dilihat publik.

Maskapai lain walaupun laporan keuangannya tidak terbuka, sebenarnya nasibnya juga sama saja.

Misalnya, Sriwijaya Air Group pada 2018 mengumumkan jumlah utangnya sebesar Rp 2,46 triliun. Maskapai ini kemudian bergabung secara operasional dengan Garuda Group agar terhindar dari bangkrut.

Untuk menghindari kerugian, pada 2019, maskapai nasional mencoba mengumpulkan pendapatan dengan menaikkan harga tiket.

Namun baru setahun, ibarat duit belum kumpul, maskapai kemudian dihantam pandemi Covid-19 sampai 2022, yang membuat operasional mereka turun hingga tinggal 30-40 persen. Tentu saja keuangan mereka juga turun drastis lagi.

Pada 2024, kita lagi-lagi dikejutkan dengan berita bahwa maskapai-maskapai kita mengalami jumlah kerugian yang fantastis.

Indonesia AirAsia mengumumkan bahwa pada semester 1 (Januari – Juni) tahun 2024 ini menderita kerugian sampai Rp 1,29 triliun, naik 644 persen dibanding periode tahun sebelumnya.

Begitupun Garuda Indonesia rugi Rp 1,54 triliun atau naik 33 persen dari tahun sebelumnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat