pattonfanatic.com

BRICS Plus dan Dilema Strategis Indonesia

Presiden China Xi Jinping (kiri), Presiden Rusia Vladimir Putin (tengah), dan Perdana Menteri India Narenda Modi (kanan) saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-16 BRICS di Kota Kazan, Rusia, Rabu (23/10/2024).
Lihat Foto

LANGKAH Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo Subianto untuk bergabung dengan BRICS Plus menandai babak baru dalam diplomasi Indonesia.

Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam tatanan dunia multipolar.

Hal ini tercermin dari pernyataan Menlu Sugiono yang menegaskan bahwa bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan manifestasi politik luar negeri bebas aktif.

Namun di balik optimisme tersebut, Indonesia perlu menghadapi sejumlah tantangan strategis yang kompleks.

Multipolaritas

Dimensi geopolitik menjadi pertimbangan utama dalam keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS. Alasannya, keanggotaan dalam forum ini membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi tawarnya dalam percaturan global.

Hal ini didukung fakta bahwa BRICS saat ini mewakili sekitar 30 persen GDP global dan 42 persen populasi dunia, memberikan Indonesia akses ke platform yang berpengaruh dalam tata kelola global.

Dengan demikian, Indonesia memiliki kesempatan lebih besar untuk menyuarakan kepentingan negara berkembang dalam forum-forum internasional.

Namun, tantangan geopolitik yang dihadapi Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja. Tekanan dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, bisa menjadi konsekuensi dari keputusan ini.

Data menunjukkan bahwa 60 persen investasi asing di Indonesia masih didominasi oleh negara-negara Barat dan sekutunya di Asia.

Total realisasi investasi asing pada triwulan II 2024 mencapai Rp 217,3 triliun, meningkat 16,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Negara-negara utama investor asing di Indonesia pada triwulan II 2024 adalah Singapura (4,6 miliar dollar AS), China (2 miliar dollar AS), Hong Kong (1,9 miliar dollar AS), Korea Selatan (1,3 miliar dollar AS), dan Amerika Serikat (0,9 miliar dollar AS).

Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembangkan strategi yang cermat untuk menyeimbangkan hubungannya dengan Barat sambil membangun kemitraan yang lebih erat dengan BRICS.

Transformasi sistem keuangan global menjadi pertimbangan strategis lainnya dalam keputusan Indonesia. BRICS telah mengembangkan sistem pembayaran alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada dollar AS.

Pada KTT BRICS ke-16 yang diadakan di Kazan, Rusia, 22-24 Oktober 2024, para pemimpin negara anggota menegaskan pentingnya instrumen pembayaran lintas batas yang lebih efisien dan berbiaya rendah.

Dalam Deklarasi Kazan, mereka menyambut baik penggunaan mata uang lokal dan mendorong penguatan jaringan perbankan koresponden untuk memfasilitasi penyelesaian transaksi dalam mata uang lokal.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat