pattonfanatic.com

Bank Sentral dan Tantangan Deflasi Berkepanjangan

Ilustrasi Pasar Tradisional
Lihat Foto

MASYARAKAT Indonesia, terutama para pakar ekonomi cukup terperangah ketika media merilis laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa Indonesia kembali mengalami deflasi pada September 2024.

Data itu menandakan bahwa sejak Mei hingga September 2024, Indonesia seakan ‘terpasung’ deflasi.

Menurut BPS, komoditas yang memberikan andil besar terhadap deflasi y-on-y pada September 2024 antara lain beras, daging ayam ras, telur ayam ras, cabai merah, tomat, ikan segar, bensin, dan telepon seluler.

Perlu diakui, deflasi dapat menguntungkan konsumen dalam jangka pendek karena harga barang dan jasa menjadi lebih murah sehingga mereka bisa mengalokasikan pengeluaran untuk barang lainnya.

Namun, deflasi yang berkepanjangan, selama lima bulan berturut-turut, bisa berdampak negatif terhadap perekonomian. Sebab, secara teori ekonomi, deflasi biasanya dibaca sebagai isyarat segera melemahnya pertumbuhan ekonomi.

Para ekonom mengkhawatirkan, deflasi dapat dikuti langkah kalangan dunia usaha memperlambat produksi, akibat penurunan harga barang produksi.

Langkah tersebut dapat berujung pada kebijakan pengurangan gaji karyawan, bahkan pengurangan jumlah karyawan atau PHK, yang berarti peningkatan pengangguran.

Penurunan gaji dan PHK akan berdampak pada penurunan daya beli konsumen lebih rendah lagi. Padahal tingkat konsumsi menjadi faktor pemicu kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.

Apalagi, melemahnya kegiatan produksi di sektor usaha biasanya dikuti dengan menurunnya minat para investor untuk melakukan kegiatan investasi.

Selain itu, deflasi juga dapat meningkatkan rasio utang publik terhadap produk domestik bruto (PDB) karena pemerintah terpaksa mengeluarkan lebih banyak uang untuk program kesejahteraan sosial untuk mengatasi melemahnya daya beli masyarakat.

Jadi, dalam skala tertentu, tren deflasi berkepanjangan dapat menimbulkan stagnasi, bahkan resesi ekonomi.

Deflasi tidak selalu negatif

Meskipun konsensus umum bahwa deflasi berdampak buruk bagi ekonomi suatu negara, penelitian ekonomi terbagi dalam memandang masalah ini.

Dalam makalah yang diterbitkan oleh The National Bureau of Economic Research (NBER) pada Februari 2004 (NBER Working Paper No. 10329), berjudul "Deflasi Baik Versus Deflasi Buruk: Pelajaran dari Era Standar Emas," penulis Michael Bordo, John Landon Lane, dan Angela Redish mempertimbangkan periode deflasi di Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman selama akhir abad ke-19.

Para peneliti itu mengklaim bahwa deflasi dapat menimbulkan dampak lebih positif daripada negatif.

Menurut para ekonom ini, deflasi yang baik terjadi ketika pasokan agregat barang melampaui permintaan agregat. Ini dapat menjadi hasil dari kemajuan teknologi atau peningkatan produktivitas.

Menurut mereka, deflasi yang buruk akan terjadi ketika permintaan agregat turun lebih cepat daripada pertumbuhan pasokan agregat apa pun.

Guncangan uang negatif, seperti yang terjadi selama Depresi Besar tahun 1930 di Amerika Serikat menciptakan deflasi yang "buruk".

Namun, ketika netralitas moneter dipertahankan meskipun terjadi guncangan moneter negatif, dampak deflasi dapat bersifat netral.

Para ekonom penganut ‘deflasi positif’ memandang deflasi tidak selalu merupakan tanda kekurangan permintaan agregat.

Dengan demikian, ancaman deflasi tidak selalu merupakan isyarat akan adanya stagnasi atau resesi ekonomi.

Bahkan, bagi mereka, dalam beberapa kasus, deflasi dapat menjadi hasil dari peningkatan pasokan dari peningkatan produktivitas, persaingan yang lebih besar di pasar barang, atau input yang lebih murah dan lebih melimpah, seperti tenaga kerja atau barang seperti minyak.

Pendapat tersebut tercermin dari publikasi tim peneliti di Bank of International Settlements (BIS). Pada Maret 2015, mereka menerbitkan "The Costs of Deflations: a Historical Perspective."

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat