pattonfanatic.com

Perkara Fundamental Sebelum Mendirikan Superholding BUMN

Ilustrasi
Lihat Foto

KETERLIBATAN negara dalam urusan ekonomi nasional melalui BUMN mulai ramai dibicarakan setelah krisis finansial 2008 lalu. Tatanan liberalisme kapitalisme dianggap nyaris mati suri kala itu (market failure).

Peningkatan peran negara berbanding terbalik dengan tren pascaperang dingin (postcold war), di mana liberalisasi dan privatisasi nyaris menjadi topik panas sekaligus menarik di dunia, terutama dalam kajian ekonomi internasional dan ekonomi politik internasional.

Negara-negara Eropa Timur yang lepas dari cengkraman Moskow mulai melakukan “shock therapy” dengan melakukan privatisasi masif hampir semua BUMN di negara mereka, untuk keluar dari krisis ekonomi waktu itu.

Janos Kornai, Ekonom kenamaan Eropa Timur mengistilahkan situasi saat itu dengan “the economic of shortage”, di mana kelangkaan membuat harga menggila dan merontokkan daya beli masyarakat di negara-negara pascakomunis Eropa Timur.

Resep “shock therapy” atau sering disebut “big bang recipe” tentu tak lepas dari supervisi institusi-institusi liberal kapitalistik seperti Bank Dunia dan IMF, termasuk Golmand Sach dan GP Morgan, disertai pakar-pakar dari Amerika seperti Jeffrey D Sach. Larry Summers, dan David Lipton. Belakangan mereka populer disebut sebagai “the Harvard Boy”.

Meski tak terlalu sama istilah dengan “Mafia Berkeley” di Indonesia atau “Chichago Boy” di Chili, peran yang mereka mainkan sejatinya tidak terlalu berbeda, yakni structural adjustment (Washington Consensus).

Memang sebagian dari pihak yang terlibat menolak penggunaan istilah Shock Therapy atau Big Bang. Namun lepas dari itu, keberhasilan dan efektivitas resep Shock Therapy sampai hari ini masih diragukan.

Terdapat perbedaan penilaian dari berbagai pihak tentang hasil akhir dari resep tersebut. Yang jelas secara umum, membandingkan dengan situasi di saat negara-negara Eropa Timur berada di bawah bendera komunisme, situasinya tentu terbilang lebih baik dengan segala kekurangannya.

Nah, karena hasilnya yang kurang “jelas” dan “pasti’ tersebut, salah satu negara yang juga sedang mencari jalan untuk melakukan transformasi ekonomi tidak terlalu yakin mengambil jalan liberalisasi dan privatisasi penuh.

Negara tersebut adalah China. Sehingga pada 1992, setelah gerakan reformasi vakum selama dua tahun pascainsiden Tianamen Square, Deng Xiaoping langsung tancap gas dengan melakukan perjalanan ke bagian Selatan China untuk mengampanyekan pentingnya liberalisasi terbatas pada ekonomi China, tapi di sisi lain secara politik justru kekuasaan Partai Komunis China dikonsolidasikan.

Perjalanan tersebut dikenal dengan “Deng’s Southern Tour”, yang dianggap oleh para pakar China sebagai titik loncat kedua reformasi ekonomi China. Titik pertama terjadi pasca-Deng menjadi Paramount Leader pada 1978.

Pada momen itu, Deng mensyaratkan untuk melanjutkan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zones) dan privatisasi terbatas BUMN-BUMN China yang jumlahnya ratusan ribu.

Dalam konteks KEK, spirit yang dibawa oleh Deng adalah spirit “win-win solution” antara kelompok konservatif Chen Yun (seangkatan dengan Deng di PKC, pendiri Economic Planning Board China di era Mao) dengan kelompok reformis yang dipimpin oleh Deng.

Spirit “win-win solution” ini belakangan dikenal dengan sebutan “Birdcage” atau sangkar burung, di mana “liberalisme” diumpamakan dengan burung dan “sosialisme” dianggap sebagai sangkarnya.

Jadi liberalisasi ekonomi hanya terjadi di dalam kawasan khusus, dikerangkeng di sebuah lokasi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat