Inflasi 1,55 Persen: Stabilitas Ekonomi atau Sinyal Bahaya?
PEMERINTAH Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menunjukkan apresiasi terhadap pencapaian inflasi di level 1,55 persen pada November 2024.
Di tengah banyaknya tantangan ekonomi global, angka ini terlihat sebagai pencapaian yang menggembirakan.
Namun, apakah inflasi yang rendah ini benar-benar mencerminkan stabilitas ekonomi?
Baca juga: Inflasi RI 1,55 Persen, Prabowo dan Sri Mulyani Kompak Beri Pujian
Di balik selebrasi tersebut, ada dinamika kompleks yang membutuhkan analisis lebih mendalam.
Sebagai salah satu indikator kunci makro ekonomi, inflasi sering dianggap sebagai cerminan dari kesehatan ekonomi suatu negara.
Namun, jika tidak diimbangi dengan kerangka kebijakan dan realitas sosial-ekonomi yang relevan, angka inflasi yang terlalu rendah justru dapat menjadi sinyal adanya masalah struktural.
Dua konteks kritis yang patut diperhatikan adalah kerangka kebijakan penargetan inflasi di Indonesia yang menetapkan batas bawah sebesar 2,5 persen, serta fenomena peningkatan angka pengangguran akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dalam beberapa bulan terakhir.
Dalam artikel ini, kita akan mengurai bagaimana inflasi rendah ini dapat dilihat dari perspektif teknis dan teoritis.
Apakah 1,55 persen masih ideal?
Bank Indonesia mengadopsi kebijakan penargetan inflasi (inflation targeting framework) dengan kisaran target 1,5-3,5 persen.
Kebijakan ini bertujuan menjaga stabilitas harga yang dianggap optimal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Inflasi yang berada di bawah batas bawah target, seperti angka 1,55 persen, dapat mencerminkan tekanan permintaan yang lemah dalam perekonomian. Tekanan permintaan yang rendah sering kali terjadi ketika daya beli masyarakat melemah.
Data menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, lemahnya inflasi mengindikasikan bahwa masyarakat mungkin mengurangi konsumsi, baik karena pendapatan yang tertekan maupun ekspektasi ekonomi yang pesimistis.
Dalam konteks ini, pencapaian inflasi rendah bukanlah hal yang harus dirayakan, melainkan menjadi alarm bagi pembuat kebijakan untuk meninjau ulang stimulus fiskal dan moneter.
Di sisi lain, inflasi rendah dapat memberikan keuntungan jangka pendek, seperti stabilitas harga barang kebutuhan pokok yang lebih terjangkau.
Terkini Lainnya
- Titiek Soeharto: Biaya Bongkar Pagar Laut Besar, Harus Diganti Pihak yang Bersalah...
- Investasi Energi Hijau di Kepri dan Kendal, Singapura Dapat Bebas Sewa Lahan 5 Tahun
- KKP Bawa Masalah Pagar Laut ke Ranah Pidana
- Bos Garuda Diminta Beberkan Penyebab Tiket Pesawat Mahal, DPR: Jangan Takut Diganti Besok
- Fraud eFishery, Mengapa Investor Besar Bisa Tertipu?
- Pemerintah Percepat Pembangunan PLTN, Ditarget Beroperasi 2029
- Teknologi TreeAlgae, Inovasi Penyerap Karbon Berbasis Mikroalga
- Promo Blibli Pay Day 25-27 Januari 2025, Ada "Cashback" Rp 1 Juta
- 100 Hari Prabowo-Gibran, Pajak untuk Orang Kaya Masih Dinanti
- Sebut Produk Furnitur RI Kalah dengan Impor dari China, Pengusaha: Kita Harus Belajar
- Trump Tolak Kesepakatan Pajak Global, RI Makin Susah Pajaki Google dkk
- Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Pendapatan Masyarakat Harus Naik 60 Persen
- Serupa Pagar Laut, 196 Pembangunan Rusak Lingkungan Sudah Disegel KKP
- Pastikan Pasokan Aman Saat Libur Panjang, Pertamina Salurkan Avtur Perdana di Bandara Singkawang
- Pagar Laut Sudah Dibongkar, Titiek Soeharto Tetap Minta Pemiliknya Diumumkan
- Kenapa Vietnam Justru Turunkan PPN dari 10 Persen Jadi 8 Persen?
- Wujudkan Kesejahteraan Rakyat, PetroChina Serahkan 18 Program Pemberdayaan Masyarakat ke Pemkab Tanjab Timur
- Naik Lagi Rp 14.000 Per Gram, Cek Harga Emas Antam Hari Ini Kamis 12 Desember 2024
- Harga Emas Terbaru Hari Ini di Pegadaian Kamis 12 Desember 2024
- Harga Jual Eceran Rokok Naik pada 2025