pattonfanatic.com

Eksploitasi Terselubung pada Pekerja Gig di Era Digital

Ilustrasi ojek online.
Lihat Foto

PADA pertemuan saya dengan Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer baru-baru ini, kami membahas pergeseran definisi ketenagakerjaan dari pekerja tradisional ke pekerja digital.

Salah satu kegundahan beliau adalah praktik sistem kemitraan yang diterapkan pada gig workers. Fenomena global di era digital yang juga marak terjadi di Indonesia sebagai negara yang terbuka terhadap perubahan.

Pada tahun 2000-an, internet mulai berkembang pesat, mengubah hampir setiap sektor pekerjaan. Pekerjaan yang dulunya dilakukan dengan interaksi fisik, kini beralih ke dunia maya.

Inilah awal munculnya pekerja digital yang mengubah model dan sistem ketenagakerjaan.

Berbeda dengan pekerjaan tradisional, pekerjaan digital memiliki karakteristik seperti berbasis platform, fleksibel dalam waktu, kerja jarak jauh (remote), dan beroperasi dalam model ekonomi berbasis permintaan.

Pada 2010-an, dunia kerja digital dan ekonomi gig mencapai puncaknya, semakin mendominasi. Bisnis-bisnis baru bermunculan, seperti pengemudi ojek online, kurir, e-commerce, content creator, pekerja lepas (freelancer), hingga penyedia layanan jasa seperti tukang, perawat, dan babysitter.

Transformasi ini semakin mempertegas pergeseran definisi pekerja, dari pekerja tradisional menjadi pekerja digital.

Model kerja semacam ini dianggap sebagai wujud dari definisi ketenagakerjaan digital yang memberi kebebasan kepada para pekerja, terutama Generasi Z dan Milenial.

Namun, di balik fleksibilitas dan kemudahan budaya kerja tersebut, terjadi risiko eksploitasi terselubung terhadap pekerja berbasis digital.

Perusahaan platform, baik multinasional maupun lokal memanfaatkan celah hukum yang kosong dengan menerapkan konsep kerja sama kemitraan.

Para aplikator yamh membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengoperasionalkan bisnis usahanya, memanipulasi dengan menawarkan konsep kemitraan, yang sejatinya berstatus sebagai pekerja.

Di sektor transportasi, logistik, dan jasa, eksploitasi ini terlihat jelas pada platform yang ada. Format kemitraan yang berjalan bertolak belakang dengan prinsip kemitraan yang adil dan setara.

Perjanjian kemitraan dirancang secara sepihak oleh aplikator tanpa melibatkan mitra dalam menentukan kebijakan tarif, syarat kerja, atau pengelolaan algoritma platform.

Hubungan ini lebih mirip subordinasi, di mana posisi mitra berada di bawah kendali penuh perusahaan, bukan hubungan sejajar sebagaimana prinsip kerja sama kemitraan yang seharusnya.

Bahkan, penentuan komisi sepenuhnya ditentukan oleh aplikator tanpa negosiasi atau persetujuan bersama.

Hal serupa terjadi pada platform digital besar seperti YouTube dan TikTok, di mana kreator konten menghadapi tekanan untuk terus menghasilkan karya tanpa kejelasan penghasilan tetap.

Mereka bekerja di bawah algoritma yang terus berubah, menciptakan ketidakpastian finansial dan psikologis. Dalam kondisi ini, kreator konten sering kali menjadi bagian dari ekosistem platform tanpa perlindungan atau kepastian kerja yang memadai.

Kapitalis digital penindas baru

Penindasan terhadap pekerja yang terjadi pada era revolusi industri abad ke-18 hingga ke-19 kini muncul kembali dalam bentuk yang lebih terselubung di era digital.

Kapitalime, bukannya belajar dari histori perseteruan kelas dan bertransformasi menuju prinsip keadilan, justru berkembang lebih canggih dalam mengeksploitasi tenaga kerja melalui teknologi dan platform digital.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat