Distorsi SBN sebagai Instrumen Pembiayaan Fiskal

DI TAHUN 2025, pemerintah akan melakukan pembiayaan utang APBN sebesar Rp 775,87 triliun. Dibandikan 2024, pembiayaan utang meningkat 16,71 persen.
Dari pembiayaan utang di atas, proporsi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 642,50 triliun, sementara pinjaman Rp 133,31 triliun. Kelak sebagian besar utang obligasi ini akan dipegang perbankan dan Bank Indonesia.
Secara struktur kepemilikan boleh dikata prudent karena proporsi terbesarnya oleh domestic holder. Namun, tetap saja ada risiko.
Sekarang, SBN bukan saja sebagai instrumen pembiayaan fiskal. Namun, sekaligus sebagai instrumen moneter. Sebagai driven factor kurs. Dual function.
Coba lihat, keluar masuknya investor dipasar SBN berdampak terhadap kurs rupiah. Sentimen terhadap imbal hasil (yield SBN), juga ikut berdampak terhadap pasar uang domestik dan kurs.
Pasal inilah yang membuat BI cenderung mengambil langkah menyerap SBN. Ini juga terkait mandat utama BI, menjaga stabilitas nilai tukar terhadap foreign currency, khususnya dollar AS.
Dari kepemilikan terhadap SBN ini juga menjadi underlying bagi BI untuk menciptakan instrumen likuid jangka pendek seperti SRBI dan SVBI (sekuritas rupiah dan valas).
Langkah BI ini dalam rangka menjaga stabilitas supply and demand terhadap mata uang rupiah. Di satu sisi baik, tapi berisiko bila proporsi makin besar. Menguras cadangan devisa untuk satu pos pengeluaran neraca BI.
Banyak pihak yang kritik, termasuk IMF, meminta agar BI independen. Tak ikut beli SBN di pasar primer.
Padahal kebijakan serupa juga dilakukan The Fed, Bank sentral AS. Melakukan quantitative easing. Printing money. Membeli aset pemerintah.
Banyak pihak yang menginginkan agar SBN tetap pada tujuan utama, yakni untuk pembiayaan fiskal. Bukan cenderung menjadi instrumen moneter seperti saat ini.
SBN diterbitkan pemerintah untuk membiayai, defisit fiskal. Membiayai proyek pembangunan, atau program-program pemerintah. Ini adalah fungsi utamanya dalam mendukung kegiatan ekonomi negara.
Jika SBN terlalu sering digunakan sebagai alat moneter, bisa menimbulkan ketergantungan pada pasar keuangan yang berisiko terhadap stabilitas fiskal.
Penerbitan SBN tetap perlu fokus pada fungsinya sebagai pembiayaan fiskal. Menjaga SBN sebagai instrumen pembangunan, bukan hanya instrumen pasar uang. Inilah hakikat pembiayaan SBN.
Agar mengurangi ketergantungan APBN pada utang, maka pemerintah perlu menjaga “pondasi fiskal” agar tetap kokoh, memiliki kebijakan fiskal berkelanjutan, stabil, dan sehat.
Terkini Lainnya
- Awal Sesi, IHSG dan Rupiah Melemah
- KKP Jelaskan Teknis Pembongkaran Pagar Laut 3,3 Km di Bekasi
- SBN ORI027 Masih Bisa Dipesan sampai 20 Februari 2025, Ini Cara Belinya
- Ironi Kemenkeu yang Konon Berintegritas
- Harga Emas Antam Hari Ini Cetak Rekor Lagi, Simak Rincian Per 11 Februari 2025
- Coretax Tetap Diterapkan Meski Bermasalah, Paralel dengan Sistem Lama
- Gandeng Polri Awasi HPP Gabah, Mentan: Kami Kolaborasi, Supaya Tidak Ada Penyimpangan
- Bansos PKH 2025: Jadwal Pencairan, Besaran Bantuan, dan Cara Ceknya
- Duduk Perkara BYOND BSI yang Eror, "Upgrade" Sistem sampai Normal Kembali
- KKP Hari Ini Bongkar Pagar Laut Bekasi
- Cek Rekening, Dana Investasi SBR012T2 Sudah Cair
- IHSG Bakal Terkoreksi Lagi? Simak Analisis dan Rekomendasi Saham Selasa
- Wall Street Menguat Ditopang Saham Teknologi dan Industri Baja-Aluminium
- Sempat Punya Ratusan, Kini Gerai Teguk Tinggal 35 Outlet
- Investor Keluhkan Aktivitas Ormas, Begini Respons BKPM
- Apa Tujuan Indonesia Impor 2 Juta Ekor Sapi hingga 2029?
- Bulog dan SRC Kerja Sama Jaringan Distribusi Pangan
- [POPULER MONEY] Mengapa Garuda Indonesia dan Pelita Air Harus Merger? | Apa Untungnya Indonesia Gabung BRICS?
- Petrokimia Gresik Siapkan Stok Pupuk Bersubsidi Lebih dari 372.000 Ton
- Luhut Yakin Coretax Jadi "Game Changer", Sebut Mantan Pejabat Pun Sulit Lari dari Pajak