GovTech untuk Pajak: Antara Efisiensi dan Risiko

PEMERINTAH memperkenalkan sistem Government Technology (GovTech) sebagai senjata baru untuk mendongkrak penerimaan pajak.
Dengan janji efisiensi dan transparansi, aplikasi ini akan mengintegrasikan berbagai platform, termasuk Coretax, data keimigrasian, hingga e-commerce.
Namun, apakah GovTech merupakan solusi yang benar-benar cerdas atau sekadar alat pengawasan yang membebani masyarakat?
GovTech hadir sebagai jawaban atas tantangan akut dalam pengelolaan pajak, yakni rendahnya tingkat kepatuhan dan tingginya kebocoran pendapatan negara.
Menurut data Kementerian Keuangan pada 2024, hanya sekitar 60 persen wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan.
Baca juga: Lapor SPT Tahunan 2024 Pakai Coretax atau Masih Melalui e-Filling?
Sistem ini menawarkan integrasi data yang luas, membuka peluang untuk menutup celah pajak yang selama ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak.
Namun, inovasi ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah ini lompatan maju, atau hanya solusi tambal sulam untuk menutupi kelemahan sistem perpajakan yang usang?
Inovasi GovTech: Solusi atau alat pemaksaan?
GovTech dirancang untuk memantau transaksi digital masyarakat, termasuk pola belanja dan aktivitas e-commerce.
Integrasi data ini tampak menjanjikan, terutama di tengah meningkatnya transaksi digital yang menurut Bank Indonesia mencapai Rp 600 triliun pada kuartal pertama 2025.
Namun, apakah pendekatan berbasis pengawasan seperti ini benar-benar mampu mendorong kesadaran pajak masyarakat, atau justru menciptakan ketakutan yang berujung pada resistensi?
Dalam praktiknya, pengawasan transaksi dapat meminimalkan penghindaran pajak. Namun, tanpa edukasi yang memadai, upaya ini rawan dipandang sebagai bentuk pemaksaan.
Jika GovTech gagal meningkatkan kesadaran pajak masyarakat secara sukarela, ia hanya akan menjadi alat represif yang menyulut ketidakpuasan.
Sistem ini menjanjikan transparansi, tetapi kepercayaan masyarakat menjadi faktor kunci. Data yang dikumpulkan harus dikelola secara etis dan terbuka.
Tanpa jaminan bahwa data digunakan untuk tujuan fiskal semata, publik akan meragukan niat baik di balik kebijakan ini. Transparansi harus menjadi komitmen utama pemerintah untuk menghilangkan persepsi negatif.
Penerapan GovTech membawa implikasi serius terhadap privasi. Dengan kemampuan melacak dan memprofilkan setiap individu berdasarkan data transaksi digital, pemerintah menghadapi dilema antara efisiensi dan pelanggaran hak privasi.
Baca juga: Luhut Yakin Coretax Dongkrak Penerimaan Pajak hingga Rp 1.500 Triliun
Terkini Lainnya
- Harga Emas Antam Hari Ini Cetak Rekor Lagi, Simak Rincian Per 11 Februari 2025
- Coretax Tetap Diterapkan Meski Bermasalah, Paralel dengan Sistem Lama
- Gandeng Polri Awasi HPP Gabah, Mentan: Kami Kolaborasi, Supaya Tidak Ada Penyimpangan
- Bansos PKH 2025: Jadwal Pencairan, Besaran Bantuan, dan Cara Ceknya
- Duduk Perkara BYOND BSI yang Eror, "Upgrade" Sistem sampai Normal Kembali
- KKP Hari Ini Bongkar Pagar Laut Bekasi
- Cek Rekening, Dana Investasi SBR012T2 Sudah Cair
- IHSG Bakal Terkoreksi Lagi? Simak Analisis dan Rekomendasi Saham Selasa
- Wall Street Menguat Ditopang Saham Teknologi dan Industri Baja-Aluminium
- Sempat Punya Ratusan, Kini Gerai Teguk Tinggal 35 Outlet
- Investor Keluhkan Aktivitas Ormas, Begini Respons BKPM
- Mau Pasang Listrik Baru? Catat Biaya Penyambungan PLN 2025
- Menteri Rosan Bantu Carikan Investor untuk IKN Sampai ke Singapura
- Ombudsman Bongkar Masalah Distribusi Elpiji 3 Kg: Stok Tak Merata, Masyarakat Sulit Akses
- [POPULER MONEY] Jadwal dan Cara Cek PenerimaBansos BPNT 2025 | DPR dan Ditjen Pajak Sepakati Gunakan 2 Sistem Perpajakan
- Gakoptindo Komitmen Suplai Tempe-Tahu untuk Makan Bergizi Gratis
- DGWG Pakai Dana IPO untuk Beli Bahan Baku, Dukung Ketahanan Pangan RI
- Kemenkeu Siapkan Insentif Kompetitif untuk Pembentukan Family Office
- Neraca Perdagangan RI Surplus 5 Tahun Berturut-turut, 31,04 Miliar Dollar AS pada 2024
- Pemerintah Sudah Proses Penghapusan Kredit 67.000 UMKM