100 Hari Prabowo-Gibran, Pajak untuk Orang Kaya Masih Dinanti

JAKARTA, - Pemerintahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah memasuki usia 100 hari pada 20 Januari 2024.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudistira, menyoroti belum adanya kebijakan untuk mengenakan pajak bagi orang kaya (wealth tax).
Meskipun sebelumnya pemerintah sempat mempertimbangkan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen untuk barang-barang mewah, tapi langkah konkret terkait hal ini belum terlihat.
"Jangankan membatalkan PPN 12 persen, yang kita tunggu adalah Pak Prabowo meluncurkan paket kebijakan perpajakan untuk mengenakan pajak kepada orang kaya atau wealth tax," ujar Bhima dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2025).
Baca juga: 100 Hari Prabowo-Gibran: Erick Thohir Dorong BUMN Fokus Swasembada Pangan-Energi
Bhima menjelaskan bahwa kebijakan wealth tax ini sebenarnya didukung oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan forum G20.
Celios memproyeksikan negara dapat mengumpulkan Rp 81,6 triliun per tahun jika orang-orang kaya dikenakan pajak.
"Padahal, negara mampu mengumpulkan Rp 81,6 triliun per tahun tanpa mengganggu daya beli masyarakat rentan," tambah Bhima.
Selain itu, Celios juga menyoroti ketidakjelasan implementasi pajak karbon meskipun sudah ada Undang-Undang yang mengaturnya, yakni UU Nomor 7 Tahun 2021.
Bhima menegaskan bahwa peraturan Menteri Keuangan terkait pajak karbon belum dikeluarkan hingga kini, meskipun sudah menjadi amanat undang-undang.
"Peraturan Menteri Keuangan belum dikeluarkan sampai hari ini untuk mengimplementasikan pajak karbon, padahal amanat UU," ujar Bhima.
Baca juga: 100 Hari Prabowo-Gibran: Ini 3 Kebijakan Ekonomi yang Dongkrak Kepuasan Publik hingga 74,5 Persen
Dalam sektor hilirisasi, Bhima mencatat Presiden Prabowo belum menunjukkan ketegasan untuk merevisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022.
Peraturan tersebut masih memungkinkan setiap smelter untuk membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
"Jadi ada kontradiksi di situ, seolah-olah pemensiunan PLTU batu bara ini hanya terbatas pada PLTU yang ada di PLN, sementara untuk industri, pemanfaatan PLTU batu bara masih diperbolehkan," kata Bhima.
Bhima mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut berdampak pada proyeksi produksi batu bara yang tidak mengalami penurunan.
"Proyeksi produksi batu bara itu tidak menurun," jelasnya.
Celios memprediksi, pada 2025, produksi batu bara akan meningkat lebih besar dibandingkan tahun lalu, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan domestik pembangkit listrik di kawasan industri.
"Salah satunya untuk kebutuhan domestik pembangkit listrik di kawasan industri," kata Bhima.
Terkini Lainnya
- [POPULER MONEY] Apakah Sisa Token Listrik Akan Hangus Usai Diskon Berakhir? | Layanan Kalayang Bandara Soetta Gangguan
- TKDN hingga 90 Persen, BTN Dorong Inovasi di Sektor Perumahan
- Emiten Ritel Tuai Berkah Saat Ramadan dan Lebaran, Ini Rekomendasi Sahamnya
- Gangguan Operasional Kalayang Bandara Soetta, Pengelola Tambah Jumlah Bus
- Perusahaan RI-Korea Selatan Kerja Sama di Bidang Energi dan Investasi
- 44.502 WNA Gunakan Layanan KA Jarak Jauh pada Januari 2025, Naik 26,06 Persen
- Modal Rp 1 Juta Bisa Investasi ORI027, Simak Cara Belinya
- KUR BSI 2025: Jenis, Limit, dan Cara Pengajuannya
- Cara Membuka Blokir BRImo tanpa Harus ke Bank, Simak Panduannya!
- Antusiasme Wisatawan Asing Gunakan Kereta Api di Indonesia Meningkat
- Gandeng BPJPH, BSI Bakal Dorong Percepatan Sertifikasi Halal
- Jadwal KRL Solo - Jogja (PP) pada 17-20 Februari 2025
- BRI Catat Penyaluran KUR Tembus Rp 184,98 Triliun Per 2024
- Berapa Biaya Pasang Listrik Baru PLN Prabayar 2025? Berikut Daftarnya
- Bank Permata Cetak Laba Bersih Rp 3,56 Triliun Sepanjang 2024
- Serupa Pagar Laut, 196 Pembangunan Rusak Lingkungan Sudah Disegel KKP
- Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Pendapatan Masyarakat Harus Naik 60 Persen
- Pagar Laut Sudah Dibongkar, Titiek Soeharto Tetap Minta Pemiliknya Diumumkan
- Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Prabowo: Kita Akan Mulai Bangun Puluhan Proyek Besar
- Harga "Naming Rights" Stasiun MRT Jakarta Mahal? Ini Kata Manajemen