pattonfanatic.com

Pajak Hiburan, Zona Abu-abu, dan Stigma Negatif

Ilustrasi pajak.
Lihat Foto

SPA bukan hiburan”, begitulah kira-kira bunyi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XXII/2024.

Terdapat 22 pemohon yang menggugat Pasal 55 Ayat (1) Huruf I Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terkait aturan mengenai mandi uap/spa yang masuk dalam kategori jasa hiburan.

Pemohon merasa bahwa mandi uap/spa tidak layak disamakan dengan usaha berstigma negatif seperti diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar karena akan menimbulkan rasa takut bagi masyarakat untuk menggunakan jasa layanan spa, yang notabene merupakan jasa pelayanan kesehatan tradisional.

Pada akhirnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian perkara tersebut dan menyatakan bahwa frasa “mandi uap/spa” sebagaimana dalam Pasal 55 Ayat (1) UU HKPD dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai “bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional”.

Baca juga: MK Putuskan Spa Masuk Jasa Pelayanan Kesehatan Tradisional, Bukan Tempat Hiburan

Artinya, menurut MK, pajak hiburan atas layanan mandi uap/spa hanya akan dikenakan jika layanan tersebut bukan merupakan jasa pelayanan kesehatan tradisional.

Terdapat dua hal yang menarik perhatian penulis. Pertama, adanya kemungkinan strategi penghindaran pajak dengan penggeseran fokus masalah.

Pada dasarnya, perubahan signifikan yang terjadi pada rezim UU HKPD adalah perubahan ketentuan mengenai tarif.

Sebelumnya, Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menyebutkan bahwa tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35 persen.

Sementara itu, ayat kedua menyebutkan bahwa khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotek, karaoke, kelab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pajak hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75 persen.

Artinya, pemerintah kota/kabupaten bisa saja menerapkan tarif 10 persen atau 20 persen untuk hiburan-hiburan khusus yang disebutkan pada ayat kedua tersebut.

Sementara itu, rezim baru, tepatnya Pasal 58 Ayat (1) UU HKPD menyebutkan bahwa tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT), yang di dalamnya termasuk jasa hiburan, ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.

Baca juga: Spa sebagai Jasa Pelayanan Kesehatan Tradisional

Kemudian, ayat kedua menyebutkan bahwa khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Artinya, pemerintah kabupaten/kota tidak bisa lagi menetapkan tarif 10 persen atau 20 persen pada jenis hiburan tersebut, melainkan minimal 40 persen.

Hal tersebut yang menjadi keresahan utama dari para pemilik usaha mandi uap/spa, pada akhirnya melakukan permohonan gugatan, kemudian dikabulkan sebagian oleh MK.

Dengan menolak untuk dikategorikan sebagai penyedia jasa hiburan, para pengusaha di bidang mandi uap/spa berusaha menghindari tarif pajak yang lebih tinggi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat